Thursday, December 5, 2013

Gombloh di Mata Sahabatnya: Pelukis Poerono Sambowo




Gedung Balai Pemuda merupakan saksi bisu perjalanan seniman-seniman Surabaya yang banyak diantaranya berhasil menjadi kebanggaan nasional, bahkan dunia. Sebut saja Leo Kristi, Frangky Sahilatua, sastrawan S.Jai, dan masih banyak lagi. Gedung yang dibangun sejak masa kolonial dan masih terjaga keaslian bentuk arsitektural bangunannya itupun juga merupakan perekam jejak keseharian Gombloh, seorang maestro musik dari Surabaya. Di Balai Pemudalah Gombloh melakukan aktivitasnya, meliputi proses penciptaan karya-karyanya, diskusi sesama seniman, dan membuat even-even kesenian. 
 
Sebagai gedung kesenian, maka dapat dibilang bahwa kompleks gedung itu merupakan tempat berkumpulnya seniman, baik seniman teater,musik,seni lukis,seni tari dan seniman-seniman dari berbagai bidang. Para seniman membuat base camp yang dinamakan Komunitas Bengkel Muda, yang terletak di belakang musholla Balai Pemuda. Disana terdapat gedung dua tingkat, tempat dimana para seniman melakukan aktivitas diskusi, sekedar minum kopi, atau menjadikannya tempat menginap. Itupula yang dilakukan Gombloh di era ‘70-‘80an, dan konon, menurut Naniel Yakin, saksi hidup perjalanan kesenimanan Gombloh, mengatakan bahwa lagu ‘Kebyar-Kebyar’ yang fenomenal itu diciptakan oleh Gombloh saat sedang kerokan. “Ya, Gombloh menciptakan lagu ‘Kebyar-Kebyar’ di halaman depan base camp komunitas Bengkel Muda. Saat itu ia kena masuk angin, jadi ia menciptakan lagu sambil kerokan,” kenang Naniel sambil tertawa.

Kita mungkin banyak mendengar penuturan tentang kisah masa lalu Gombloh dari kawan musisinya dahulu, atau dari keluarga dekatnya. Nah, kita mungkin jarang mendengar penuturan kisah Gombloh dari seorang seniman lukis, bukan? 

Sebagai seniman yang menghabiskan kesehariannya di Balai Pemuda, tentu Gombloh banyak berkawan dengan para seniman dari berbagai bidang keahlian. Salah satu kawan dekatnya adalah seniman lukis terkenal Surabaya bernama Poerono Sambowo, atau akrab dipanggil Pak Pung. “Gombloh dulu sering menginap di lantai dua. Saat sudah menjadi artispun masih seperti biasanya, ia tetap kembali ke Bengkel Muda dan menghabiskan kesehariannya dengan diskusi, menulis syair dan lagu. Hanya beberapa waktu saja ia menyempatkan diri untuk pulang, atau ia keluar untuk show dan keluar dengan alasan ‘mencari inspirasi’ untuk karya-karyanya,” ujar Pak Pung.

Pelukis Poerono Sambowo
Ditanya mengenai Gombloh, Pak Pung sangat antusias dalam bercerita. Maklum, ia juga merasa kagum dengan karya Gombloh, maupun pribadinya yang sederhana. Diceritakannya, saat sudah menjadi artis dan memiliki banyak uang, Gombloh sering mempergunakan uang hasil shownya itu untuk mentraktir teman-temannya. “Dulu di sebelah Balai Pemuda ada sebuah gedung Bioskop, namanya ‘Mitra’. Nah, di pojok gedung bioskop Mitra terdapat warung ‘Mbak Jum’, sebuah warung kecil yang menjual berbagai makanan dan minuman. Disanalah Gombloh sering mentraktir teman-temannya. Bahkan, Gombloh kadang tidak sadar, bahwa uangnya sudah habis karena dipakai mentraktir; dan esoknya ketika butuh kopi atau rokok, iapun ngutang,” kenang Pak Pung sambil terpingkal-pingkal.

Rupanya, selain sebagai musisi, Gombloh juga merupakan penikmat seni lukis. Menurut penuturan Poerono Sambowo, Gombloh seringkali bolak-balik berkunjung ke galeri seni rupa AKSERA (Akademi Seni Rupa Surabaya), di daerah Dukuh Kupang, Surabaya. “Gombloh juga tidak pernah luput untuk menyaksikan berbagai even pameran lukisan di Surabaya. Tapi ia tak pernah sekalipun mengomentari sebuah lukisan. Ia cenderung menikmati dan mengaguminya.saja,” tutur pelukis sepuh yang juga alumni AKSERA itu.

Poerono Sambowo, pelukis yang lahir pada tanggal 27 Februari 1941 itu mengisahkan bahwa ia pernah memiliki kenangan yang tak terlupakan soal Gombloh. Dikisahkannya, suatu kali seniman-seniman yang tergabung dalam Komunitas Bengkel Muda membuat even bertema ‘Gebyar Seni Pemuda’. Acara itu diselenggarakan pada sekitar awal tahun 80’an di Balai Pemuda dan kebetulan Poerono Sambowo ditugaskan untuk melukis poster acara tersebut. “Saat itu saya melukis poster yang berukuran cukup besar. Nah, ketika saya hendak menggambar wajah Gombloh sebagai bintang tamu, Gombloh berpesan kepada saya, ‘Pung, koen nggambar aku elek gak opo-opo, pokokke ojok Tuwek (Pung, kamu boleh menggambar aku  jelek, tapi  pokoknya wajahku jangan kelihatan tua)’. Komentar itulah yang saat itu membuat saya dan teman-teman yang mendengarnya tertawa terbahak-bahak. Itulah lelucon yang paling saya ingat dari Gombloh,” ujar pria yang kini berusia 73 tahun itu.

Sebagai sahabat dekat, sekaligus teman diskusi yang akrab, Poerono pun cukup kaget ketika mendengar berita meninggalnya sang maestro. “Saya ketika mendengar berita itu langsung lari menuju rumah duka. Disana rupanya sudah sangat penuh dengan para pelayat. Esoknya, ketika hari pemakaman, saya turut serta mengiringinya, bahkan bukan hanya saya, bukan hanya kawan-kawan maupun kerabat-kerabat Gombloh, tapi juga seluruh masyarakat Jawa Timur. Pada hari pemakaman, terlihat kerumunan masyarakat yang menghadiri pemakamannya menyemut, hingga memacetkan jalan-jalan di Surabaya. Sungguh, suasana pemakamannya begitu ramai dan itu membuktikan bahwa masyarakat Indonesia, khususnya Surabaya dan Jawa Timur, sangat merasa kehilangan. Gombloh adalah seniman besar yang pernah dimiliki dan ada di hati kita semua. Ketika itu semuanya larut dalam suasana sedih, bahkan Mbak Jum, pemilik warung yang menjadi langganan Gombloh menangis histeris saat mendengar kabar meninggalnya Gombloh,” kenangnya. 

Sosok maestro yang bersahaja, yang tetap sederhana dalam kesehariannya itu meninggalkan banyak kenangan indah. Kawan sesama seniman, kerabat dan masyarakat saat itu diliputi kesedihan mendalam. Duka dan tangisan mengiringi kepergiannya. Namun sekalipun ia telah pergi, ia meninggalkan satu hal yang masih dapat kita temui: buah-buah pemikiran yang pernah dituangkannya dalam bentuk karya musik. Nada, irama, dan syair-syair sang maestro akan menuntun kita pada sebuah kenangan manis tak terlupakan: Indonesia pernah punya musisi besar, namanya Soedjarwoto Soemarsono. Ia akrab dipanggil Gombloh.


Pose bareng Mahasiswa UK Petra, Pak Pung, Cak Naniel di halaman Bengkel Muda Surabaya.





 *29 November. Hasil wawancara bareng tim design grafis UK Petra, Surabaya. Foto-foto diambil dari Fb Memories of Gombloh dan foto pribadi Poerono Sambowo.


Monday, July 29, 2013

Memoar Pak Jey: Pembuat Patung Gombloh di Kampoeng Seni THR Surabaya dan Memoarnya tentang Gombloh

(alm) Jay Supriadi

Sore itu di Kampoeng Seni Surabaya, seusai Sekaring Jagad perform di even KPJ Surabaya di Kampoeng Seni, kami menyempatkan diri untuk bertandang ke tempat Pak Jey: perupa pembuat patung Gombloh yang hingga kini karyanya terpajang megah di depan pelataran Kampoeng Seni. Kediaman Pak Jey tidak jauh dari tempat kami perform. Beliau menempati salah satu bilik di Kampoeng Seni Surabaya. Saat ditemui, ia sedang terbaring lemah di sebuah kasur polos yang tergeletak di kamar tidurnya, Ia hanya ditemani Tv dan istrinya, Unnie, yang setia merawatnya.

"Sugeng ndalu Pak Jey (selamat malam, Pak Jey)," kami mengawali dengan sapaan. Dengan ramah Pak Jey mempersilahkan kami untuk masuk dan beliau mencoba bangun dari rebahnya, namun kami melarangnya dengan alasan kondisi beliau yang sakit tidak mungkin dipaksakan untuk duduk. Maka ketika itu Pak Jey berbincang-bincang dengan kami sembari tiduran. Istrinya bercerita kepadanya bahwa kami adalah band Sekaring Jagad, yang tadi tampil membawakan lagu-lagu Gombloh. Setelah mendengar cerita dari istrinya, Pak Jey terlihat sumringah. Rupanya ia sejak tadi penasaran terhadap siapa yang membawakan lagu-lagu Gombloh yang didengarnya.

patung Gombloh di KS Sby
"Rupa-rupanya masih ada anak muda yang begitu ngefans dengan Gombloh. Kalian bisa membawa kembali ingatan masyarakat Surabaya yang mulai pudar. Teruskan semangat kalian. Bawa Gombloh kembali ke dalam hati masyarakat, supaya mereka, generasi lama kembali bernostalgia, sedangkan generasi baru bisa mulai mengenal, bahwa kota ini pernah memiliki maestro musik besar seperti Gombloh," ungkap Pak Jey bersemangat. Perlahan beliau mulai bercerita tentang pengalamannya saat muda, saat mengikuti proses berkesenian Gombloh sekaligus tindak-tanduknya.
"Kalian ingin tahu ceritanya?," begitulah ia memulai cerita dengan sebuah pertanyaan yang memancing rasa ingin tahu kami. Seketika pertanyaan itu bak mengembalikan kami pada masa anak-anak yang serba ingin tahu. Secara tidak sadar, kami mulai beringsut mendekati Pak Jey dan memasang telinga terang-terang, sembari diliputi rasa penasaran.

Pak Jey bercerita kepada kami tentang sosok Gombloh. Menurutnya, Gombloh adalah seniman besar yang tidak kenal waktu dan tempat bila memperoleh ide. "Ide kreatif Gombloh bisa muncul dimana saja, dan seketika ide itu muncul, Gombloh akan menghentikan semua aktivitasnya untuk sejenak menuangkan ide tersebut. Ide-ide yang muncul itu ditulisnya diatas kertas, kemudian dinyanyikannya," ungkap Pak Jey. Tambah Pak Jey, pernah pula saat Gombloh sedang dalam perjalanan sembari menyetir, ia tiba-tiba beroleh ide. Saat itupula Gombloh menepikan mobilnya untuk sejenak mencatat ide yang muncul dalam kepalanya.

"Satu lagi, Gombloh itu kuat sekalipun ia adalah perokok berat," kenang Pak Jey. Dikisahkannya, salah satu kelebihan Gombloh adalah kemampuannya berjalan jauh. Pernah suatu ketika ia bersama kawan-kawannya diajak untuk berjalan-jalan. Ketika menempuh jarak beberapa kilometer dengan berjalan kaki, ia dan kawan-kawannya mulai mengeluh kecapaian dan menganjurkan Gombloh untuk berhenti sejenak. "Saat itu ia mengiyakan sambil tertawa. Heran, ia tidak ada rasa capek sekalipun sudah berjalan jauh," tambah Pak Jey. Itulah salah satu dari sekian banyak kelebihan Gombloh menurut Pak Jey. Selain mampu berjalan jauh, Gombloh juga seorang pribadi yang selalu bersemangat dan selalu tampil sederhana dan apa adanya.

Tak terasa sudah sejam lebih kami mendengarnya bercerita. Pembicaraan yang mengarah kepada memoar maestro musik besar Surabaya itu perlahan beralih pada diri Pak Jey sendiri, utamanya karya patungnya yang berdiri megah di pelataran Kampoeng Seni Surabaya. "Ya itu ironisnya. Pemkot tidak memperhatikan Kampoeng Seni semacam ini. Mereka hanya menyediakan lahan, kemudian dibiarkan. Bahkan patung saya nasibnya mungkin akan muram juga bila tak ada perhatian dari kawan-kawan seniman dari berbagai daerah yang peduli," keluhnya. Ironis memang, Surabaya tak memiliki kepedulian terhadap eksistensi seniman sekaligus tak memiliki inisiatif untuk memonumenkan patung seniman besar seperti Gombloh. Bila tak ada Pak Jey, maka hingga saat ini Surabaya tak akan memiliki patung Gombloh. Pernah ada wacana untuk memindahkan patungnya ke Balai Pemuda, Surabaya yang terletak di pusat kota, atau menamakan gedung baru di Balai Pemuda sebagai Gedung 'Gombloh'; namun hingga saat ini masih ngambang sebatas wacana. Perawatan patung itupun dilakukan oleh kalangan seniman dan beberapa masyarakat yang peduli, yang dengan rutin datang dan melakukan kegiatan pencucian, perawatan patung dan sebagainya.

Begitulah pertemuan kami dengan seorang seniman yang juga fans berat Gombloh. Siapa yang menyangka bahwa itu adalah pertemuan terakhir kami dengan beliau, sebab pada Senin, 19 November 2012, Pak Jey pergi meninggalkan kita semua karena sakitnya. Sebuah berita yang saat itu mengejutkan kalangan seniman, pemerhati seni dan fans-fans Gombloh yang tersebar di seluruh dunia. Pak Jey pergi meninggalkan kenangan megah: maestro yang gagah berdiri, yang tak pernah dalam semangatnya ia merasa sendiri. Maestro itu berdiri teguh di pelataran kampoeng seni, menghadap mall yang berdiri dengan angkuh di hadapannya. Tatapan matanya yang mencerminkan kelembutan, kebersahajaan serta nasionalisme yang terungkap dalam karya-karyanya. Tetap tegar berdiri dan diingat; matanya menatap simbol modernitas di hadapannya yang kerap menawarkan ketidakpastian, sekejap meriap kemudian hilang tanpa bekas: lenyap. Ya, modernitas seringkali menawarkan berbagai hal yang tak keruan juntrungannya. Berbeda dengan sang maestro, Gombloh maupun Pak Jey, mereka menawarkan ingatan sebagai media perenungan yang terus berlayar dan singgah dari jaman ke jaman.
Selamat jalan Pak Jey..doa kami besertamu..

*foto diambil dari akun Fb Unnie OI & Memories of Gombloh

Sekaring Jagad perform di Acara KPJ di Kampoeng Seni Surabaya

Sekaring Jagad dan Klanthink

Akhir tahun 2011 adalah saat-saat dimana Sekaring Jagad mulai berkenalan dengan kawan-kawan seniman yang tergabung dalam Komunitas Pengamen Jala
nan (KPJ) Surabaya. Awal mulanya, kami berkenalan terlebih dahulu dengan Bokir Surogenggong, musisi asal Surabaya yang mengaku sebagai saksi hidup perjalanan dan proses berkesenian Gombloh semasa hidupnya. Selain itu, Bokir juga tercatat sebagai ketua KPJ Surabaya (saat itu). Dari situlah perkenalan kami berlanjut ke lingkup yang lebih luas, yakni kami beroleh kenalan kawan-kawan seniman dari KPJ yang mempunyai basecamp di Kampoeng Seni (Belakang Mall THR), Surabaya.

Kampoeng Seni Surabaya adalah tempat berkumpulnya para seniman Surabaya, baik seniman-seniman tradisional maupun modern. Di tempat tersebut terdapat beberapa gedung kesenian, seperti gedung Srimulat, gedung Ludruk Irama Budaya sampai dengan base camp OI (fans Iwan Fals) Surabaya, dan lain-lain. Disana pula terdapat patung Gombloh satu-satunya yang ada di Surabaya. Seniman pembuat patung tersebut adalah (alm) Pak Jey yang ketika itu terbaring lemah karena sakit. Kebetulan saat itu beliau menempati salah satu bilik di Kampoeng Seni Surabaya. Kami sempat pula berkenalan dengan Pak Jey yang pada saat itu sempat bercerita tentang pengalamannya bersama dengan Gombloh.

Di tempat itupula kami mengenal kawan-kawan yang hingga kini menjadi sahabat dekat Sekaring Jagad, yakni Serdadoe Band yang ketika itu digawangi oleh Andy, Bengal dan Gemblonk. Saat hari-H, mereka juga tampil bersama kami dan Klanthink disana. Dal
am perkembangannya, Tatok (gitaris kami) turut membantu pula proses kreatif Serdadoe hingga kami berdua kerap kali ditawari untuk manggung bersama dalam sebuah acara.

Kebetulan saat itu KPJ Surabaya akan menyelenggarakan even untuk memperingati Hari Pahlawan 10 November. Tema acara yang mereka gagas ketika itu adalah 'Refleksi Hari Pahlawan' yang rencananya akan diadakan di panggung Kampoeng Seni Surabaya. Bak gayung bersambut, rupanya kami diperkenankan untuk menjadi pengisi acara bersama Klanthink (jawara IMB) di tempat itu. Selain kami, adapula penampil-penampil, yakni Deva 'Anak Bangsa', Serdadoe dan beberapa grup serta kelompok-kelompok kesenian tradisional.

Acara yang dimulai sejak sore hari itu mendapat respon positif dari masyarakat. Penonton yang datang cukup memenuhi ruangan-ruangan yang ada di Kampoeng Seni THR. Saat itu Sekaring Jagad mendapat giliran perform pada sekitar Pukul 20.00 WIB, tepat sebelum Klanthink memungkasi acara tersebut. Total, tiga buah lagu Gombloh kami bawakan dan berhasil mencairkan suasana dengan joke-joke segar yang diambil dari lirik lagu 'Lepen'. Saat acara usai, kami dan kawan-kawan crew menyempatkan diri untuk berfoto bersama Klanthink. Sejak itulah dalam waktu-waktu berikutnya kami selalu mendapat kesempatan perform setiap kali KPJ mengadakan even.

Bokir Surogenggong

Friday, March 22, 2013

Sejarah Grup Musik Lemon Tree's


Bicara mengenai Gombloh tentu tidak lepas dari band pengiringnya, yakni Lemon Trees. Dalam setiap penampilannya, Gombloh selalu bernyanyi bersama mereka dan merekapun dapat dibilang menjadi bagian penting dari proses berkesenian Gombloh di bidang musik. Siapa saja yang ada dalam grup Lemon Trees? Bagaimana sejarahnya?

leo kristi
Pada tahun 1969, Lemon Trees pertama kali dibentuk atas inisiatif beberapa musisi yang kerap bermain sepanggung dalam even-even musik di Surabaya. Tamam Husein, Leo Kristi, Gombloh, Irma dan Cathy Boyok, seorang penyanyi yang kerap mengisi acara di LCC Club Surabaya bersama Totok Tewel adalah beberapa personil awal yang secara bersama-sama mendirikan grup musik bernama Lemon Trees. Nama Lemon Trees sendiri dipakai setelah tertarik dengan salah satu bait dalam sebuah lirik lagu barat yang mereka sukai bersama, dimana disana ada salah satu lirik yang menyebutkan tentang 'Lemon Trees'.

Lemon Trees I yang digawangi beberapa personil yang telah disebutkan mulai mengembangkan sayapnya dengan bermain di even-even musik di Surabaya dan Jawa Timur. Mereka kerap membawakan lagu-lagu yang populer pada jamannya, hingga pada tahun 1972 mereka mengalami pergantian formasi. Konon, Lemon Trees II sebagai kelanjutannya disebut sebagai era perubahan, karena grup jilid II itulah yang membuat Folk song booming di Surabaya.

Soelih Estopangestie
Ketika itu DKS (Dewan Kesenian Surabaya) membutuhkan Lemon Trees untuk menjadi band pengiring Bimbo. Karena personel Lemon Trees I banyak yang vakum dan mengundurkan diri, maka diambillah personel pengganti, yakni musisi-musisi yang bermain dalam Fralioka. Fralioka adalah grup musik yang dibentuk oleh sekelompok anak muda dari daerah Darmo, Surabaya, dimana band mereka ketika itu dibina oleh majalah Aktuil dan cukup tenar di Surabaya. Saat itu di Fralioka terdapat nama-nama seperti Vera Karen Tambayong, Naniel Khusnul, Teo, Rieke dan Wisnu Padma. Bergabungnya beberapa personel Fralioka itulah yang kemudian membentuk formasi Lemon Trees II yang mereka sebut sebagai era perubahan. Personel di dalamnya meliputi:  Leo Kristi, Gombloh, Naniel, Teo, Lintang, Rieke dsb. Setelah sukses mengiringi Bimbo, Lemon Trees jilid II tersebut kembali berkelana di even-even musik Surabaya hingga sukses mempopulerkan Folk song di kota tersebut.

Pada tahun 1978, Leo Kristi memutuskan untuk mengundurkan diri dari Lemon Trees karena membentuk 'Musik Rakyat'. Saat itupula Teo, salah seorang personil juga mengundurkan diri karena ia sibuk dengan usahanya. Sedangkan Gombloh, personil asli yang tersisa mencoba mempertahankan keberadaan Lemon Trees dengan mengajak para penyanyi: Soelih, Lorena, Ratna dan Ratih. Saat itulah pemain keyboard Wisnu Padma dan pemain gitar bernama Gatot diajak Gombloh untuk eksis kembali di dunia musik Surabaya. Dalam perjalanannya, Gomblohpun menjadi tenar bersama grup Lemon Trees edisi III tersebut, dan grup itu pernah pula sukses mengiringi Harry Roesli dalam penampilannya di ITS, Surabaya.

mus mujiono
Sekitar awal tahun 80'an, Gombloh pindah manajemen, mengikuti manajemen baru, yakni Nirwana. Dari situlah Lemon Trees mengalami beberapa kali pergantian personil, atau dapat disebut bahwa Lemon Trees dalam periode tersebut berubah bentuk menjadi band jamm session yang bertugas sebagai pengiring musikalitas Gombloh. Dalam periode itupula Wisnu Padma bersama beberapa personil lain mengundurkan diri dari Lemon Trees. Sebagai band jamm session, tentu banyak personel yang ikut serta di dalamnya dan kerap kali berganti-ganti, sesuai dengan selera musikalitas Gombloh yang selalu ingin menghadirkan nuansa baru dalam setiap lagunya. Tercatat, pada Lemon Trees periode IV ini beberapa musisi pernah bergabung di dalamnya, yakni Pardi, Soelih, Ratih, Sonata Tanjung, Mus Mujiono dsb. Lemon Trees edisi IV tersebut adalah format terakhir dari eksistensinya, dikarenakan Lemon Trees membubarkan diri setelah Gombloh meninggal pada bulan Januari tahun 1988.

*Hasil wawancara dengan Naniel Khusnul Yakin, saksi hidup perjalanan Gombloh


*Foto-foto diambil dari halam facebook Memories of Gombloh

Wednesday, March 13, 2013

Sense of Claim by Wisnu Padma

Wisnu Padma dalam Kompas


Kompas, 19 Februari 2013

Bagi pelatih menembak Wisnu Suharjono Padmodiwirjo, olahraga menembak adalah seni. Di mata Wisnu, suara tembakan dari ujung pistol ibarat bunyi dentingan piano. "Menembak itu seni. Saat menembak, suara tembakan ibarat dentingan nada piano," kata Wisnu akhir pekan lalu di Jakarta.

"Seorang atlet harus memiliki sense of arts yang tinggi. Pasalnya, dengan jiwa seni, seorang atlet dapat melahirkan kreativitas dalam kegiatan olahraganya," ungkap mantan penembak, yang telah mengkoleksi 400 medali dari cabang menembak, juga peraih rekor nasional free pistol yang tercipta tahun 1989 itu. Jiwa seni pelatih menembak ini berasal dari pengalaman bermusiknya di grup musik Lemon Trees Anno yang didirikannya bersama almarhum Gombloh dan Leo Kristi. "Dalam dunia musik saya dikenal sebagai Wisnu Padma, sebagai arranger dan pianis. Saya juga menciptakan lagu 'Bulan Merah' dan 'Kebyar-Kebyar' yang dinyanyikan Gombloh," tutur lelaki kelahiran Surabaya, 21 November 1953 tersebut.

Hingga kini, Wisnu yang berprofesi sebagai pelatih tekhnik menembak di sekolah menembak di PB Perbakin, Jakarta, itu masih menciptakan lagu dan memainkan musik. "Saya masih suka main musik dan menciptakan lagu. Pistol dan piano tidak bisa terpisahkan dari saya," ungkapnya. (K15)

-----------------------------------------------------------

Menyikapi Klaim Wisnu Padma

Setidaknya ada tiga klaim dalam artikel yang ditulis oleh wartawan berinisial K15 itu (dalam tulisan yang di-bold). Pertama, bahwa Lemon Trees adalah grup yang didirikan oleh Wisnu Padma; kedua, lagu Bulan Merah adalah ciptaan Wisnu dan ketiga, lagu 'Kebyar-Kebyar' adalah ciptaan Wisnu pula. Apakah keterangannya benar atau ia sedang berniat untuk menjadikan Gombloh sebagai sasaran tembaknya agar ia bisa meraih popularitasnya lagi?

Sontak, isi berita di Kompas yang memuat profil singkat keyboardis Lemon Trees itu menyita perhatian para penggemar Gombloh di seluruh dunia. Tak ketinggalan, mantan-mantan orang dekat Gombloh seperti Naniel Khusnul Yakien, Soelih Estopangestie dan lain-lain. Bahkan Pandu Ganesha, salah seorang admin grup 'Memories of Gombloh (MoG)' di Facebook yang pertama kali mengetahui artikel tersebut langsung mengirimkan surat pembaca ke redaksi Kompas, namun hingga saat ini belum ada tanggapan.

"Bisa jadi itu kesalahan penulis (wartawan), bisa jadi komentar itu memang berasal dari Wisnu yang coba untuk mengklaim lagu 'Kebyar-Kebyar' milik Gombloh," ujar Pandu Ganesha.Menyikapi hal ini, para saksi hidup perjalanan Gombloh berhasil dikorek kesaksiannya. Ketika itu, menurut keterangan para saksi, banyak yang menyaksikan sendiri proses pembuatan lagu 'Kebyar-Kebyar' yang konon diciptakan Gombloh saat ia sedang kerokan di halaman depan pusat latihan Bengkel Muda Surabaya yang terletak di Balai Pemuda, Surabaya.

"Waktu itu saya lihat dengan mata kepala saya sendiri bahwa Gombloh sedang menciptakan lagu 'Kebyar-Kebyar' sambil kerokan," ungkap Naniel Khusnul Yakin. Selain Naniel, Soelih Estopangesti juga menyebutkan bahwa lagu 'Kebyar-Kebyar' diciptakan oleh Gombloh. "Coba dilihat saja di kaset yang berlabel 'Kebyar-Kebyar', produksi Golden Hand, gambar Alm. Gombloh dengan background merah-putih. Disitu tertulis jelas bahwa lagu 'Kebyar-Kebyar' adalah ciptaan Alm. Gombloh," ujarnya.

Memang, menurut paparan Naniel yang juga pernah menjadi anggota Lemon Trees sekaligus orang yang bertugas di bidang manajemen saat lagu 'Kebyar-Kebyar' diproduksi oleh Golden Hand, Wisnu Padma ikut di dalamnya, namun fungsinya saat itu hanya sebatas keyboardis yang mengikuti arahan Gombloh dalam mengaransemen lagu 'Kebyar-Kebyar'. Dalam hal ini, bila Naniel benar soal kesaksiannya, maka klaim Wisnu Padma sebagai arrangerpun bisa jadi merupakan klaim palsu pula.

Klaim Lemon Trees sebagai grup yang didirikan oleh Wisnu juga dibantah oleh para saksi hidup. Menurut para saksi, Lemon Trees terbentuk jauh sebelum Wisnu Padma bergabung. Lemon Trees sendiri sebenarnya merupakan band jamm session yang memiliki personil berganti-ganti. Dalam mengiringi musikalitas Gombloh, yang paling lama bergabung dalam Lemon Trees adalah Pardi, sang gitaris. Wisnu Padma hanya sebentar saja bergabung di grup tersebut dan memang, ia merupakan pencipta lagu 'Bulan Merah'. "Kalau lagu Bulan Merah memang ia yang menciptakan. Kalau 'Kebyar-Kebyar' tidak," ujar Pandu Ganesha.

Wisnu Padma, mungkin bisa dibilang merindukan ketenaran dan karier bermusiknya yang semakin tenggelam usai Gombloh tiada. Secara psikologis, bila klaim itu muncul dari dirinya sendiri, maka bisa jadi klaim tersebut adalah upaya menghibur diri atau bisa jadi ia mencoba untuk meraih kembali popularitasnya. "Memang aneh, mengapa Wisnu Padma baru saat ini mengklaim lagu 'Kebyar-kebyar'? Mengapa tidak dari dulu?," ungkap Naniel. 

Walaupun klaimnya itu tak memperoleh perhatian yang luas dari publik, tetap saja sebagai upaya menghargai Gombloh sebagai pencipta lagu, para penggemar Gombloh ramai membicarakan sosok Wisnu Padma, dan bahkan mengirim surat pembaca kepada redaksi Kompas. Setidaknya bila itu merupakan kesalahan penulisan, maka Kompas diminta untuk mengedit artikelnya. Namun bila itu memang klaim dari Wisnu, para penggemar Gombloh menuntut kejelasan darinya.

Semoga permasalahan Wisnu Padma dapat cepat terselesaikan. Pihak Kompas sebagai pemuat artikel juga diharapkan peran sertanya dalam menanggapi surat pembaca. Namun yang jelas bila pernyataan Wisnu Padma terbukti palsu, maka dapat diambil kesimpulan bahwa sense of arts yang dimiliki Wisnu Padma dalam hal menembak dan bermain piano, sejalan lurus dengan keahlian utamanya, yakni sense of claim.

Friday, March 8, 2013

Sekaring Jagad Goes to Jakarta

di musica studio

Pada pertengahan 2011 Sekaring Jagad berpergian ke Jakarta demi mencoba peruntungan. Rekaman lagu-lagu Sekaring Jagad yang total berjumlah 4 buah dibungkus dalam bentuk CD dan disana kami berencana untuk menitipkannya ke beberapa major label. Dengan penuh semangat, berangkatlah kami.

Berangkat dengan menggunakan kereta api, Sekaring Jagad (tanpa Tatok dan Sahtanta yang berhalangan ikut karena sesuatu hal) menuju Jakarta dengan 4 orang: Eka, Dimas, Frangky dan Agus (orang ini walaupun memang hanya penggembira, tapi kami menyebutnya sebagai manajer karena dia selama di Jakarta kerap menjadi juru bicara bak manajer) turun di Stasiun Senen. Diantar oleh seorang kawan dari Jakarta, kami beristirahat sejenak di daerah Duren Sawit dan beberapa jam kemudian langsung bergerak dengan sepeda motor untuk mendatangi kantor-kantor major label.

Beberapa kantor major label kami datangi selama di Jakarta. Tepatnya 2 hari setelah kedatangan kami di Ibukota kami pergunakan untuk berkeliling-keliling. Sony Music, Nagaswara, Musica, BMG, Universal dan lain-lain adalah beberapa nama major label besar yang sempat kami singgahi dan CD kami telah diterima dengan baik. Rata-rata pihak major label berjanji untuk menghubungi kami bilamana mereka setuju dengan karya musik kami.

Pada hari ketiga, kami memutuskan untuk pulang kembali ke Surabaya. Target yang sudah selesai serta kesibukan Agus, sang manajer yang terjadwal akan melakukan pertemuan dengan petinggi-petinggi RT/RW, PKK dan Karang Taruna di kampungnya yang tidak bisa ditinggalkan adalah salah satu alasan kami untuk segera pulang. Maka dengan mengendarai bis malam, kamipun pulang ke Surabaya.

Lalu bagaimana kabar karya kami dan major label? Hingga tulisan ini diturunkan, belum ada tanda-tanda persetujuan dari pihak major label. Ada satu-dua major label yang berkenan mengirimi kami surat permohonan maaf karena belum bisa menerima karya kami dengan alasan kurang sesuai dengan pangsa pasar dan sebagainya. Memang, saat itu di Indonesia sedang booming grup boyband dan lagu-lagu melankolis. Lantas apakah kondisi pasar membuat Sekaring Jagad berpikir ulang? Merubah format kami menjadi boyband misalnya? Tidak. Idealisme kami tidak bisa dibeli atau dilabeli janji model apapun. Walhasil, kami nikmati saja tiap perjalanan kami sampai saat ini. Toh, kami masih bisa berkarya dan tampil dimana-mana. :-D

Monday, March 4, 2013

Gombloh Lupa Membawa Gitar

Dulu ketika diundang manggung di Jakarta, ternyata Gombloh lupa membawa gitar. Kemudian beliau bertanya kepada Cak Naniel, "Niel, gitarku keri, yoopo iki (Niel, gitarku ketinggalan, gimana nih)?"; Cak Naniel menjawab, "yo gak eruh Mbloh, lha koen yo'opo kok gitar iso mbok kerikno (ya gak tau Mbloh, lha kamu itu bagaimana kok gitarmu bisa sampai ketinggalan)?". Gomblohpun berpikir sejenak, kemudian ia beroleh ide.

"Niel, awak dewe pura2 tukaran ae, cekno panitiane gelem nggolek silihan gitar (Niel, kita pura2 bertengkar saja biar panitia mau nyari gitar utk bisa aku pakai)!".

Cak Nanielpun tanpa pikir panjang langsung menyetujui ide Gombloh itu. Tidak berapa lama mereka berdua memulai akting bertengkar: Gombloh menyalahkan Cak Naniel perkara gitar, begitupula sebaliknya, Cak Naniel jg menyalahkan Gombloh.

Panitia acara yang mengetahui terjadinya pertengkaran yang sebenarnya hanyalah sandiwara itu segera mendekati mereka berdua dan menanyakan duduk persoalan. Gombloh dan cak Nanielpun bercerita pada mereka soal gitar milik Gombloh yang ketinggalan. Walhasil, panitiapun dengan sangat terpaksa mengusahakan gitar untuk Gombloh.

Esoknya, panitia berhasil meminjamkan sebuah gitar akustik untuk dipakai Gombloh tampil dalam acara yang mereka selenggarakan. Saat itu acara berjalan lancar dan sukses. Gombloh berhasil membius penonton dengan lagu-lagunya.

Singkat cerita, di akhir acara, Cak Naniel sempat berbisik pada Gombloh, "Jancok Mbloh,Mbloh, isok ae koen iku. Untung panitiane kebujuk, dadine panitiane gelem nggolekno gitar gae awakmu. Cobak nek enggak (jancok mbloh,mbloh, bisa aja kamu itu. Untung panitianya tertipu, jadi mereka mau mengusahakan gitar buat kamu. Coba kalau mereka tidak tertipu)?!,".
Mereka berduapun berlalu. Menembus batas sembari tertawa lepas.

-Cerita tentang Gombloh dari Cak Naniel; suatu malam di kedai kelir, Surabaya-
*foto diambil dari halaman facebook Memories of Gombloh

Monday, February 18, 2013

Perform di program Indiekustik SBO

Adanya undangan dari SBO Tv untuk kembali mengisi program acaranya membuat Sekaring Jagad kembali disibukkan oleh hal baru, karena program SBO Tv kali ini berbeda dari yang sebelumnya. Dulu, ketika Sekaring Jagad tampil pada program 'Rolling Rock', Sekaring Jagad bisa leluasa bergombloh ria; sedangkan kali ini, program yang ditawarkan SBO Tv adalah 'indiekustik', dan kami diharuskan perform dengan membawakan lagu-lagu sendiri.

Berhubung Sekaring Jagad terhitung masih baru didirikan, maka Sekaring Jagad belum memiliki lagu sendiri. Setelah dilakukan perundingan, muncul wacana untuk membawakan lagu-lagu ciptaan Guruh Dimas Nugraha yang pernah direkam sebelumnya. Selain itu muncul pula wacana (yang sebetulnya wacana lama) untuk menambah gitaris baru, yakni Sahtanta Eka Prananta Tarigan, mantan gitaris Floopy yang pada tahun 2008-2009 pernah membantu dalam proyek pengerjaan lagu-lagu milik Guruh Dimas Nugraha.

Kesimpulannya, dipakailah lagu-lagu milik Guruh Dimas Nugraha sebagai materi perform di program 'Indiekustik' SBO Tv, sekaligus lagu tersebut diresmikan sebagai lagu indie milik Sekaring Jagad. Selain itu, wacana lama untuk memanggil Sahtanta Eka sebagai pengisi gitar kebetulan pula dapat terwujud berkat even SBO Tv tersebut. Walhasil, pada kesempatan itu Sekaring Jagad tampil pertama kali dengan formasi 5 orang: Guruh Dimas Nugraha (vokal), Tato Tara (gitar), Sahtanta Eka (gitar), Frangky Mundu (bass) dan Kris Eka (drum). Formasi 5 orang personil ini dipakai Sekaring Jagad hingga sekarang.
Dalam kesempatan perform di program 'Indiekustik' SBO Tv', Sekaring Jagad total membawakan 4 lagu ciptaan Guruh Dimas Nugraha, yakni, 'Nafsu', 'Blues Anak Rantauan', 'C'mon Baby Dance' dan 'Asalkan Kau'. Penampilan itu selain menandai penampilan pertama Sekaring Jagad dengan format personil sejumlah 5 orang, juga menandai bahwa untuk pertama kalinya Sekaring Jagad membawakan lagu-lagu sendiri dihadapan publik musik Jawa Timur.

Perform di Kaza Surabaya



Pada September 2011, Sekaring Jagad diundang oleh manajemen Kaza Mall yang terletak di Jl. Kapas Krampung, Surabaya. Kembali mengusung lagu-lagu Gombloh, Sekaring Jagad menghibur para pengunjung mall hingga larut malam.

Udhien Droemmulen adalah penghubung antara Sekaring Jagad dan manajemen Kaza Mall, konon, menurut cerita ia pernah melihat live performance Sekaring Jagad di SBO Tv, selain itu ia juga merupakan kawan dekat Iyus Reptil, sesepuh Nowars Surabaya.

Penampilan Sekaring Jagad di Kaza Mall tersebut sekaligus menandai penampilan terakhir Sekaring Jagad dengan formasi awal yang masih beranggotakan 4 orang personil, yakni Guruh Dimas Nugraha (vokal), Tato Tara (gitar), Frangky Mundu (bass) dan Kris Eka (drum). Sebab setelah penampilan di Kaza Mall, tepatnya di SBO Tv, Sekaring Jagad telah menggunakan format 5 orang dalam penampilannya.

Segera setelah pulang dari Kaza Mall, Sekaring Jagad kembali dihubungi SBO untuk tampil dalam acara 'Indiekustik', yakni program milik SBO Tv yang menayangkan lagu-lagu buatan sendiri yang kerap diisi oleh band-band lokal Jawa Timur.

Sunday, February 17, 2013

Perform di SBO

Setelah 2 kali penampilan Sekaring Jagad di THR dan Tunjungan Plaza, tiba-tiba datang tawaran dari stasiun Tv lokal Surabaya, namanya SBO Tv. Tim kreatif menghubungi Sekaring Jagad untuk bisa tampil dalam acara 'Rolling Rock' yang ketika itu ditayangkan di channel tv lokal sebanyak 2 kali dalam seminggu. 

'Rolling Rock' adalah sebuah program milik SBO Tv yang berisikan tentang performa band-band rock di Jawa Timur. Sekaring Jagad yang membawakan lagu-lagu Gombloh dalam setiap penampilannya memang kerap menyajikan lagu Gombloh dan beberapa lagu dibawakan dalam nuansa musik rock. Itulah alasan mengapa SBO Tv mengundang Sekaring Jagad untuk meramaikan acaranya, selain bertujuan untuk mengusung kembali lagu-lagu Gombloh.

Ketika itu sekitar bulan September 2011, Sekaring Jagad dengan formasi awal yang berisikan 4 orang: Dimas (vokal), Tato (gitar), Frangky (bass) dan Eka (drum) melakukan shooting di studio SBO Tv, di gedung Graha Pena lantai 21. Shooting dilakukan selama sekitar 1 jam dengan membawakan 7 lagu. Tema acara ketika itu adalah 'Tribute to Gombloh'. Setelah acara shooting selesai, kami pulang ke rumah masing-masing dan menunggu tayangnya penampilan kami di Tv.

Seminggu kemudian, Sekaring Jagad ditayangkan di SBO Tv. Walaupun kualitas broadcast sound sedikit kurang memuaskan, namun performa di Tv itu cukup banyak mengundang perhatian dari khalayak ramai, sebab frekuensi pemutarannya mencapai 8 kali dalam sebulan; konon, SBO Tv terus-terusan menayangkan Sekaring Jagad di program 'Rolling Rock' dikarenakan banyaknya permintaan penonton yang haus akan kerinduan terhadap lagu-lagu sang maestro: Gombloh.

Ya, setidaknya setelah tampil di SBO Tv, tawaran manggung bagi Sekaring Jagad mulai bermunculan. Suatu berkah tersendiri bagi Sekaring Jagad.

SERIAL MEMORIES OF GOMBLOH: Iring-Iringan Itu Semakin Panjang (by: Dhahana Adi)



 

Surabaya | Gombloh meninggal di puncak kariernya. Seniman mumpuni ini, seolah-olah ‘menilap’ banyak orang. Dia pergi justru ketika orang-orang makin percaya pada dinamika kariernya, dan juga perkembangan kesehatannya.  Hari itu, 9 Januari 1988, Surabaya menjadi begitu muram. Malam Minggu tak seperti biasanya, menjadi malam sarat akan duka. Di mana-mana, orang lantas membicarakan kepergian seniman pujaannya, dalam nada yang nyaris tak percaya kebenaran berita yang didengarnya. Akan tetapi, ketika kemudian TVRI Surabaya menyiarkan berita duka itu-lengkap dengan penayangan gambar almarhum di RS Darmo, tempat almarhum dirawat sebelum meninggal, barulah orang-orang itu yakin bahwa sang bintang pujaan memang telah berpulang.

Pembicaraan tentang kematian sang seniman jadi semakin meluas pada esok paginya, terutama setelah media massa yang terbit Minggu pagi sontak menurunkan berita duka itu sebagai berita utama. Hampir seluruh radio di Jawa Timur secara spontan sehari penuh mengudarakan lagu-lagu Gombloh, sejak album pertamanya hingga album terakhirnya. Suasana menjadi sangat dramatis, yang tak pernah dijumpai pada saat meninggalnya artis-artis ataupun seniman-seniman lain. Rasa kehilangan semakin terekspresikan dengan jelas pada saat pemakaman. Ribuan orang ikut mengiring jenazahnya, menyaksikannya untuk yang terakhir kali. Bahkan seolah-olah seperti mau ngalap berkah almarhum, sehingga banyak yang saling berebut hendak memanggul keranda tempat almarhum terbujur, ketika dinaikkan di mobil jenazah, dan ketika menuju tempat istirahatnya yang terakhir.

Jenazah diberangkatkan dari rumah duka sekitar pukul 10.00 WIB. Prosesi jenazah dikawal langsung oleh mobil patroli Polwiltabes Surabaya. Lalu diikuti konvoi klub Harley Davidson, klub Mercy Surabaya, iring-iringan puluhan mobil dan sepeda motor, hingga bus kota DAMRI. Bahkan tak ketinggalan ada juga yang mengayuh sepeda pancal dan becak. Sepanjang perjalanan sejauh ± 15 kilometer dari rumah duka ke pemakaman umum Tembok tersebut, iring-iringan menjadi semakin panjang dan banyak, karena masyarakat di sepanjang jalan yang dilalui iringan-iringan ini spontan ikut bergabung.

Sebuah belasungkawa spontan yang begitu luar biasa. “Gombloh.. Gombloh..”, teriak orang-orang di sepanjang jalan. Ada beberapa remaja yang sampai-sampai berteriak histeris, menyebutkan nama Gombloh sambil mengacungkan tangannya. Suasana ini seakan-akan melebihi sebuah pawai dari salah satu organisasi peserta Pemilu. Berkerudung hitam, istri almarhum, Wiwiek ikut mengantar sambil dipapah oleh ayah almarhum, Pak Slamet dan Yodi, keponakannya. Eddy Sud, Arie Wibowo, Rinto Harahap, dan beberapa artis teman dekat almarhum, juga ikut berada dalam rombongan iring-iringan tersebut. Tak ketinggalan seluruh kerabat dan sanak keluarga besar almarhum.

Gerbang makam yang berada di tengah pasar itu jadi sarat lautan manusia. Mobil jenazah pun geraknya menjadi tersendat-sendat, sulit menembus gelombang manusia yang begitu dahsyatnya. Terlebih ketika keranda diturunkan dari mobil jenazah, puluhan orang berebut untuk ikut kebagian memanggulnya. “Kita semua merasa sangat kehilangan. Wajar saja kalau suasananya menjadi seperti ini”, komentar Eddy Sud, koordinator Artis Safari. Berbusana safari coklat, lengkap dengan lencana DPRnya, Eddy menambahkan, “Saya tak menduga, ia akan dipanggil Tuhan secepat ini. Tidak hanya masyarakat Surabaya yang merasakan kehilangan atas perginya almarhum, tapi kita semua merasakannya. Bangsa Indonesia kehilangan salah seorang seniman terbaiknya”. Bahkan Eddy Sud menyebut Gombloh sebagai pribadi yang penuh optimisme dan memiliki semangat kerakyatan.

Rinto Harahap, ketua ASIRI (Asosiasi Industri Rekaman Indonesia) yang ikut hadir melayat, berkomentar, “Hanya Gombloh yang dapat meramaikan bahkan menghibur masyarakat  melalui lagu-lagunya yang gampang dicerna. Sudah saatnya Gombloh bukan hanya jadi milik Surabaya, tetapi sudah menjadi aset nasional”. Menurut Rinto, dengan meninggalnya Gombloh, dunia musik pop Indonesia kehilangan tokoh penting dan berharga, karena lagu-lagu Gombloh memberikan warna lain dalam khasanah musik bangsa. Titi Qadarsih, tangisnya meledak, begitu sampai di depan gundukan tanah tempat almarhum disemayamkan untuk selama-lamanya. Seorang pengawalnya, terpaksa memapah Titi yang limbung. Titi mengaku menyesal terlambat datang di saat kepergian almarhum, hanya sempat melihat gundukan tanah yang telah ditimbuni belasan karangan bunga. “Saya datang terlambat, karena pesawatnya terlambat. Saya kehilangan teman terbaik. Saya tak menyangka empat hari lalu adalah saat terakhir saya melihatnya“, tutur Titi sambil sesenggukan.

Arie Wibowo, yang ikut melayat ke rumah duka mengatakan, “Saya mengagumi Gombloh sejak album Kebyar-Kebyar, yakni sejak saya belum serius terjun ke dunia musik”. Karena itu, ketika dia punya kesempatan bekerjasama dengan almarhum, dia senang sekali. Album yang digarap bareng itu berjudul “Di Radio, Ada Anak Singkong”. Duet Gombloh dan Arie Wibowo ini bahkan sempat dicetak ke dalam bentuk compact disc, dan merupakan satu-satunya compact disc karya musisi Indonesia yang digarap di luar negeri, di Jepang. “Sebelum meninggal, rencananya almarhum akan duet dengan saya untuk kedua kalinya, pada Maret 1988. Rencana dan materi sudah siap, bahkan sampai pada itung-itungan honor juga. Tapi sayangnya, Tuhan berkata lain”, ujarnya.

Akhudiat, dramawan dan sastrawan Surabaya yang juga kenal dekat dengan almarhum, mengatakan bahwa Gombloh pantas disebut sebagai tokoh dalam industri musik pop. “Tentu saja ketokohannya harus ditakar dari paradigma musik pop, jangan ditakar dari ukuran jenis musik yang lain. Lagu almarhum, punya identitas. Ya identitas kegomblohannya itu, yang hingga saat ini tidak dipunyai penyanyi lain. Dia lahir dari sikap yang mandiri, bukan epigon siapa-siapa”, ujarnya. Vicki Vendi, mengatakan “Saya kehilangan kawan, sekaligus guru bagi saya pribadi”. Penyanyi yang telah melahirkan tujuh album, enam di antaranya adalah karya Gombloh ini, sejak malam meninggalnya Gombloh terlihat sangat sibuk, ikut membantu tuan rumah menyambut para pelayat.

*) Disadur dari buku “Blues untuk Kim“, yang sebelumnya dimuat di Suara Indonesia, 17 Januari 1988

*tulisan ini juga bisa diakses di blog milik kawan kami Dhahana Adi: http://ceritasurabaya.blogspot.com

SERIAL MEMORIES OF GOMBLOH: Selasa Malam Sampai ke Sabtu Kelabu (by: Dhahana Adi)

Surabaya | Selasa malam, Gombloh pulang dari Jakarta. Kepada istrinya, dia mengeluh capek. Karena itu, semalaman itu dia tak pergi ke mana-mana. Setelah bercanda dengan Remmy, anaknya dia tidur. Tetapi sebelum tidur, dia minta minum. Diambilkan air putih. Gombloh tidak mau.  “Dia minta sirup”, kata Wiwiek. Kebetulan persediaan sirupnya tinggal sedikit. Gombloh pun ngomel, “Kamu harus sedia sirup yang banyak. Sebentar lagi kita akan kebanjiran tamu”, kata Gombloh kala itu ditirukan oleh Wiwiek. Kata-kata itu tentu saja tidak punya arti apa-apa bagi Wiwiek termasuk tidak memahami kalau itu sebenarnya suatu isyarat akan meninggalnya Gombloh. Wiwiek mulai merasa tidak enak. Apalagi makam sebelumnya, dia mimpi gigi paling belakangnya tanggal.
Soal mimpi dan kekhawatirannya itu, lantas diceritakan ke Gombloh. “Walah ojok kakean pikiran. Nek wes tiba wancine, apapun bisa terjadi. Tenang ae, aku gak popo kok”, kata Gombloh menanggapi mimpi istrinya. Wiwiek jadi tenang kembali, tetapi kemudian pikirannya tidak enak lagi. Lagi-lagi Gombloh dengan tenang menanggapi pikiran istrinya itu, “Wis ta lah ojo kakean pikiran, nek wes ancen nahase, menungso gak iso ngeles”.

Setelah sama-sama sibuk, Wiwiek sibuk masak, Gombloh pun tiduran dan kemudian guyonan dengan Remmy sepulangnya dari sekolah. Masalah mimpi dan firasat-firasat langsung terlupakan begitu saja. Gombloh seharian tinggal di rumah. Baru pada malam harinya, dia pamit mau rekaman di Nirwana Record. “Saya pulangnya malam. Kamu tidur saja bersama Remmy, tidak usah menunggu”, kata Gombloh, seperti yang diceritakan Wiwiek. Dengan alasan agar tidak mengganggu Wiwiek kalau pulang nanti, Gombloh membawa kunci rumah dan menguncinya dari luar. Hal yang begini, memang sering dilakukan Gombloh kalau dia keluar malam.

Akibatnya, ketika malam itu teman Gombloh datang menjemput Wiwiek, memberitahukan bahwa suaminya sakit dan dilarikan ke UGD RS Dr. Soetomo, maka Wiwiek harus melompat pagar karena kunci rumahnya dibawa oleh Gombloh. “Teman Cak Su datang sekitar jam 03.00 pagi”, kisah Wiwiek. Rupanya teman-temah almarhum ini menggedor-gedor pagar rumah Gombloh sampai sekitar setengah jam, karena tempat tidur Wiwiek ada di belakang, maka gedoran itu tak terdengar.

Sesampainya Wiwiek di UGD, ternyata Gombloh sudah siuman. “Wiek, aku maeng semaput”, ujarnya, tanpa menjelaskan dia pingsan di mana. Karena tidak boleh banyak ngobrol oleh dokter, Wiwiek meminta agar suaminya tidur saja. Gombloh sendiri meski terlihat dalam keadaan payah, berusaha membesarkan hati istrinya dan teman-temannya, yang pagi itu juga langsung menjenguknya. Dia pun melakukan canda-canda ringan. Salah seorang perawat yang akan mengganti botol infusnya, jadi ‘korban’ candanya. Ketika jarum infus akan ditusukkan ke lengannya, Gombloh nyeletuk minta infusnya diganti saja karena sudah tua dan nggak enak.

Karena perawat tadi merasa bahwa jarum infus itu masih baru, maka dia mencoba menjelaskan pada Gombloh. Tapi toh akhirnya diganti juga. Gombloh pun senang. “Maklum dik saya akan tampil di TV malam Minggu nanti”, ucap Gombloh seperti ditirukan oleh Gunawan, salah satu temannya di Nirwana Record. Pukul 06.00, Gombloh terlihat sudah tidur pulas. Wiwiek ijin pulang duluan, untuk memandikan Remmy dan membuka kunci rumah.

Pukul 07.15, Wiwiek kembali ke UGD. Melihat wajah suaminya yang nampak kuyu, dan jarum infus yang melekat di lengannya, membuat Wiwiek teringat kembali mimpinya, kelakuan dan permintaan suaminya yang aneh-aneh. Kekhawatirannya itu semakin bertambah, ketika siang harinya oleh dokter, Gombloh disarankan untuk pindah ke RS Darmo. Di rumah sakit ini, Gombloh langsung ditangani dokter yang merawatnya sejak tahun 1980, dr. Sucipto Dwijo.

Sabtu paginya, Gombloh kelihatan lebih segar. Semua keluarganya bahkan teman-temannya merasa lega melihat hal ini. Bahkan ketika itu, Gombloh sudah bisa melucu. Tak ada tanda-tanda sedikitpun bahwa hari itu adalah hari terakhirnya dia hidup di dunia. Kepada istrinya pun Gombloh membesarkan hatinya, “Pulanglah, Wiek, saya tak apa-apa kok”, kata Gombloh, sekitar pukul 12 siang lebih. Wiwiek pun menuruti permintaan Gombloh, dan tidak tahunya, beberapa saat kemudian, sekitar pukul 13.00, seniman besar ini menghembuskan nafasnya yang terakhir. Gombloh pun meninggal dunia dalam kesendirian, tak ada seseorang pun yang berada di sisinya pada saat itu.

Malamnya, Gombloh benar-benar memenuhi janjinya pada salah seorang perawat itu. Ia benar-benar tampil di layar TVRI Stasiun Pusat, dalam acara Selecta Pop. Bagi Gombloh, acara itu tentu terlambat beberapa jam. Sebab , sekitar tujuh jam sebelum acara itu ditayangkan, ia telah berpulang. Maka acara itu kemudian lebih terasa sebagai pengantar bagi perjalanan terakhir Gombloh. Dalam Selecta Pop itu, almarhum tampil bersama Titi Qadarsih, membawakan lagu terbarunya “Apel”. Sebenarnya, bukanlah Titi yang menjadi backing vocal dari lagu tersebut, melainkan suara Rini Haryono, penyanyi Surabaya yang memang sudah terbiasa menjadi backing vocal lagu-lagu almarhum. Titi cuma memerankan, supaya acara itu kelihatan lebih menarik. Acara itu sendiri sebenarnya hasil rekaman pada hari Selasa siang, empat hari sebelum Gombloh pergi untuk selama-lamanya.

*) Disadur dari buku “Blues untuk Kim“, yang sebelumnya dimuat di Surabaya Post, 12 Januari 1988 dan foto diolah dari berbagai sumber.

*tulisan ini juga bisa diakses di blog milik kawan kami Dhahana Adi: http://ceritasurabaya.blogspot.com

SERIAL MEMORIES OF GOMBLOH: Di Radio, Kugadaikan Cintaku (by: Dhahana Adi)

Gombloh dan Titi Qadarsih


Surabaya | Lagu “Kugadaikan Cintaku” yang meledak itu, ternyata tidak sepenuhnya karya Gombloh. Intronya, ternyata diambil dari karya Jimmy Clift, tokoh musik reggae yang populer di era pertengahan 1960-an. Lagu yang dipetik Gombloh itu berjudul “Wonderful World, Beautiful People”. Awalnya, Bob Djumara membawa kaset itu ke studio. “Mbloh, lagu ini reffreinnya enak”, kata Bob waktu itu, sambil memutar lagu itu. Gombloh pun tertarik. Dia lantas secara tekun mendengarkan lagu itu berulang-ulang.

“Wah, ini memang bagus. Tapi reffrainnya saja yang kita jadikan bait. Lainnya kita ciptakan sendiri”, ujar Gombloh, seperti yang ditirukan oleh Bob. Tidak satu jam, Gombloh sudah berhasil menciptakan lagu yang idenya berangkat dari karya Jimmy Clift tersebut. “Tapi liriknya mengalami beberapa kali perubahan”, kata Bob. Semula, kata Bob, Gombloh membuat lirik yang bertemakan kritik sosial, tap Bob tidak setuju. “Wah sentuhan komersialnya kurang kena. Pakai lirik cinta saja”, saran Bob.
Gombloh berpikir lagi. Tidak sampai sepuluh menit, Gombloh sudah berhasil menemukan lirik yang dimaksud. Lirik lagu itu, seperti yang diceritakan Gombloh kepada Bob waktu itu, diilhami dari pengalaman Gombloh sendiri pada masa remajanya dulu. Suatu saat Gombloh pernah datang ke rumah cewek yang ditaksirnya, tetapi sampai di sana, dia kecele. Gadis itu lagi asyik bersama pacarnya. Gombloh mengakui ia mengenal gadis itu melalui acara pilihan pendengar di sebuah radio amatir. “Makanya, lagu itu diawali dengan kata di radio”, kata Bob, sound manager Nirwana Records.
Ternyata, perkenalan Gombloh dengan radio amatir ini sebenarnya ketika Gombloh tergabung dengan gank yang bernama “Gegars Otack”. Gank ini mempunyai radio amatir. Di radio amatir inilah Gombloh biasa cangkruk, termasuk kenal gadis itu.

Tak dinyana, lagu yang awalnya diciptakan tidak seserius lagu-lagu yang lain, malah meledak di pasaran. Lagu “Kugadaikan Cintaku” atau yang populer juga dengan judul “Di Radio” berhasil mengangkat nama Gombloh ke puncak karier dan kepopuleran. Pada tahun 1986 saja album ini menjadi album kaset terlaris. “Tercatat penjualan sekitar 500 ribu kaset, sebuah rekor di antara album-album Gombloh yang lain”, tutur Junaedi, manajer promosi Nirwana Record. Tak salah apabila kemudian ada yang menyebutkan bahwa lagu “Kugadaikan Cintaku” ini adalah masterpiece-nya Gombloh.

*) Disadur dari buku “Blues untuk Kim“, yang sebelumnya dimuat di Suara Indonesia, 17 Januari 1988

*tulisan ini juga bisa diakses di blog milik kawan kami Dhahana Adi: http://ceritasurabaya.blogspot.com



SERIAL MEMORIES OF GOMBLOH: Anak Juragan Ayam yang Suka Keluyuran (by: Dhahana adi)

Surabaya | Lagu-lagunya yang begitu nyentrik dan heroik, tidak lepas dari pengaruh masa kecilnya yang nyurabayani. Meskipun sebenarnya lelaki ini lahir di Tawangsari, Jombang pada 12 Juli 1948, namun sungguh bersatu dengan kultur Surabaya yang ‘berangas’ sejak masa bocahnya. Di dalam keluarga, Gombloh yang paling mbeling. Sejak kecil, dia sudah sering menghilang dari rumah. Ibunya, yang amat mencintai Gombloh, sering dibuat bingung oleh ulahnya. Pernah sepulangnya dari sekolah, dia langsung menghilang sampai Maghrib dan ternyata Gombloh kecil sedang asyik menonton orang melukis di pinggir jalan.

Gombloh kecil, memang kerap mengabaikan perintah mengaji, sebagaimana kebiasaan anak-anak di kampungnya, kampung Embong Malang, Surabaya. Tak jarang mengabaikan juga ajakan untuk membantu usaha ayahnya, pak Slamet, juragan ayam. Sementara enam saudaranya yang lain, sangat penurut dan patuh terhadap orang tuanya. Dari ketertarikannya ke dunia lukis, Gombloh lantas tergila-gila pada musik. Dia sering mendatangi tetangganya yang punya pintar. Karena Gombloh cepat pintar, tetangganya senang. Tidak hanya mengajari saja, bahkan hingga meminjaminya gitar. Gombloh yang waktu itu berusia enam tahun kurang, semakin bersemangat dalam bermain gitar.

Akibat ketergila-gilaannya pada musik, dia jadi lebih tidak mempedulikan lagi kewajiban-kewajibannya, termasuk cara berpakaiannya. Dia menjadi anak yang berpenampilan yang tidak rapi. Tapi anehnya, sekolahnya jalan terus dan sangat lancar. “Cak Su tergolong murid yang cerdas, mampu menangkap pelajaran dengan mudah. Diterangkan satu kali saja, sudah hafal langsung di luar kepala”, tutur dr. Sudjari, adik Gombloh. Ketika merasa sudah pintar main musik, Gombloh tertarik untuk ngamen. Ya, Sudjarwoto Sumarsono, sang anak juragan ayam Embong Malang itu tidak sedikitpun merasa malu jual suara dari rumah ke rumah, ke toko-toko, ke warung-warung sampai ke restoran-restoran.

Meskipun mbeling, ternyata Gombloh sangat halus perasaannya. Dalam pergaulan dengan kawan-kawannya, dia membenci anak-anak yang mengejek orang lain. Kalau bertengkar, dia suka mengalah. Dari sikapnya yang selalu mengalah ini, Gombloh menjadi anak yang tak suka berkelahi. Yang lucu, kalau dijahili teman, maka yang membela adalah kakak-kakaknya, tetapi kalau adik-adiknya yang dijahili teman-temannya, Gombloh malah menyalahkan adiknya. Tahun 1965, saat memasuki bangku kelas 2 SMA Negeri 5 Surabaya, Gombloh semakin sibuk dengan kegiatan-kegiatan musiknya. Dia seringkali mendapatkan undangan main musik, mulai dari ulang tahun teman, acara keluarga, perpisahan hingga malam pentas seni sekolah.

Populer walaupun masih dalam kalangan terbatas, membuat Gombloh semakin tergila-gila pada musik. Yang mengagumkan, itu semua justru tidak membuat nilai pelajarannya merosot. Otaknya memang encer. Tetapi sayang karena dia punya uang dari hasil undangan-undangan itu, dia jadi tergelincir. Dia mulai mengenal rokok, minuman dan kehidupan malam Surabaya. Inilah yang membuat fisik Gombloh lemah dan akhirnya diketahui ia mengidap penyakit paru-paru. Agak lepas kontrol, uang hasil ngamen itu ludes tak karuan. Semakin hari, dia semakin larut pada kehidupan malam. Suka begadang, nyangkruk di warung-warung kecil pinggir jalan untuk ngobrol dan minum, menghabiskan waktu untuk perempuan-perempuan malam.

Tahun 1968, setamat SMA dengan nilai lumayan, ia diterima di ITS (Institut Teknologi 10 November) dengan jurusan Arsitektur. Bukankah itu bukti dari keenceran otaknya? Tetapi sekali lagi sayang kecintaannya pada musik, dan kelarutannya pada kehidupan malam, membuatnya tak betah melanjutkan kuliah. Bahkan kemudian ia ikut-ikutan masuk gank. Di Surabaya, kala itu memang lagi musimnya gank gank-an. Dia menjadi anggota gank terkenal Surabaya kala itu yang bernama “Gegars Otack”. Tapi ada nilai positifnya, dia bergabung dengan gank ini, sebab gank ini memiliki radio amatir dan banyak anggotanya suka musik. Sehingga wawasan musiknya menjadi semakin berkembang.
Kehidupan Gombloh yang seperti burung terbang bebas itu, terus berlanjut. Dan selama itu pula, keluarganya tidak mengetahui apa saja yang dilakukan Gombloh di luar rumah. Kadang mereka mendengar Gombloh main musik di salah satu night club di Surabaya, kadang pula mereka mendengar tiba-tiba Gombloh sudah main musik di Jakarta atau Bali. Dan sejauh itu, hanya ibunya saja yang selalu menyebar pesan kepada teman-teman Gombloh, untuk menyuruh dia pulang.

Sekitar tahun 1975, Bengkel Muda Surabaya (BMS) berdiri. Para pemuda pecinta seni, mulai dari seni musik, seni rupa dan drama, banyak yang masuk dalam organisasi ini, termasuk Gombloh. Di sini Gombloh pun berkenalan dengan Leo Kristi, Naniel Khusnul Yakin, Mung, dan masih banyak lagi. Tetapi ketiga nama itu ternyata sungguh menginspirasi Gombloh untuk menjajal dunia rekaman, karena mereka sudah lebih dulu masuk. Bahkan, Franky Sahilatua, salah seorang yang banyak belajar bermusik darinya, juga berhasil masuk rekaman mendahului dirinya dan albumnya sukses besar. Menghibur diri, Gombloh selalu bilang, “Tenang, belum saatnya Gombloh muncul ke permukaan”. Tetapi diam-diam rupanya musisi yang mengaku berangkat dari corak musik blues ini, merasa kreativitasnya terpancing.
Tahun 1978, dia berhasil meluncurkan album perdananya, “Nadia dan Atmosfer”. Ketika itu grup Gombloh adalah Totok Tewel, Tuche, Renny, Lorenz dan Ais. Tetapi sebelum itu, Gombloh sudah bergabung dengan grup “Lemon Trees” bersama Leo Kristi, Ita dan Naniel. Album perdananya ini tidak terlalu meledak di pasaran, masih kalah dengan Leo Kristi, “Nyanyian Fajar” ataupun milik Franky yang berduet dengan Jane, adiknya. Tetapi salah satu lagunya yang berlirik nakal, “tai kucing rasa coklat” sontak populer di masyarakat.

Uang yang diperolehnya dari album itu, lantas dibagi-bagikan kepada semua teman-temannya. Begitu royal, sehingga cepat habis. Selain rekaman, Gombloh masih sering ‘ngamen’ di Shinta dan Blue Sixteen. Sehabis ‘ngamen’, pulang ke BMS, tempat dia mangkal sehari-hari. BMS memang sudah jadi ‘rumah’ bagi Gombloh dan teman-teman seniman yang lainnya.

Tahun-tahun itu, bintang Gombloh memang belum saatnya bersinar terang. Lantas tiba-tiba Gombloh punya ide membuat opera musik “Damarwulan”, yang melibatkan sekitar 80 orang. Giat berlatih selama tiga bulan, tetapi ketika ditawarkan, tidak ada satu pihak pun yang berniat mempargelarkannya. Kembali dia limbung, dan semakin sarat ke kehidupan malam.

Sebenarnya, tidak selalu Gombloh berkelakuan sebagaimana layaknya ‘pembeli’ dan ‘penjual’ apabila bergaul dengan perempuan-perempuan malam itu. Seringkali Gombloh memperlakukan perempuan-perempuan itu hanya sebagai teman ngobrol, teman bercerita, berbagi uneg-uneg bahkan sumber inspirasi karya-karyanya. Dari rasa pergaulannya yang merakyat ini, baik kepada perempuan malam atau teman-temannya sesama seniman, unsur jiwa sosialnya tampak lebih berperan. Dia dikenal sebagai sosok yang dermawan. Kalau punya uang, dia langsung mentraktir ataupun membantu teman-temannya hingga uang itu habis. Dia tak pernah berpikir, besok akan bagaimana.

Para WTS yang sering dikunjunginya, lebih terlihat sebagai sahabat. Mereka tak jarang terbuka kepada Gombloh. Mereka pun bercerita pada Gombloh apabila ada kesulitan yang dialami, mulai dari kesulitan keuangan ataupun kesulitan-kesulitan yang lain. Serta merta, Gombloh pun membantunya ataupun mencarikan jalan keluar atas masalah-masalah itu. Bahkan Djoko Suud Sukahar, salah seorang teman Gombloh bercerita bahwa suatu ketika Gombloh menemui seorang WTS di daerah Jarak yang sedang mengalami penyakit yang parah. Dengan sikapnya yang manusiawi, Gombloh pun menanyakan keluhan yang dialami perempuan itu, sebagaimana layaknya seorang dokter. Setelah mengakui penyakitnya, Gombloh pun lantas menyuruhnya untuk segera berobat ke dokter dan semua biaya perawatannya ditanggung sepenuhnya oleh Gombloh. Gombloh memang seorang berjiwa sosial tinggi.
Sys NS, salah satu kawan Gombloh di radio Prambors, malah punya kenangan tersendiri terhadap jiwa sosial seorang Gombloh. Dia mengatakan, “Saya pernah melihat mas Gombloh itu dengan becak membagi-bagikan BH kepada beberapa WTS. Dia memang profil orang yang aneh, tapi sangat manusiawi”.

Ketika semakin populer, sayangnya dia belum berubah dari gaya hidupnya yang nyentrik itu. Tubuhnya tidak pernah diurus. Tetap suka begadang dan mengunjungi daerah-daerah lampu merah. Merokoknya juga semakin kuat, sehingga makin menggerogoti fisiknya. Tubuhnya semakin kurus, keropos dan ceking. Kulitnya semakin keriput, rambut, jenggot dan jambang dibiarkan tumbuh begitu saja, sehingga penampilannya terlihat lebih tua dari usia sebenarnya. Tetapi itulah Sudjarwoto Sumarsono, yang nggomblohi namun luar biasa dalam berkarya.

*) Disadur dari buku “Blues untuk Kim“, yang sebelumnya dimuat di Surabaya Post, 12 Januari 1988 dan foto diolah dari berbagai sumber.

*tulisan ini juga bisa diakses di blog milik kawan kami Dhahana Adi: http://ceritasurabaya.blogspot.com