Saturday, September 7, 2019

"Saya tak lagi sendiri" : Catatan Pertemuan Awal Komunitas Fans Gombloh Surabaya




"Para cantrik nggentur laku / poro wiku paring ilmu/ kanthi tekad wojo.."

Alunan lagu berjudul 'Sekaring Jagad' dari album Sekar Mayang milik penyanyi legendaris Gombloh tersebut perlahan sayup terdengar membisik di sepertiga malam kota Surabaya. Dalam sebuah ruang di Warkop Rakyat Kahuripan (WRK), tampak tiga orang dengan memakai kaos bergambar Gombloh, idolanya.

"Apakah teman-teman kita benar-benar datang?"

"Adakah penggemar Gombloh di Surabaya selain kita?"

Begitulah selang-seling obrolan ketiga fans Gombloh, antara penulis, Affandy Willy Yusuf dan Nurul Huda, yang juga pengelola WRK.

Malam tunjuk pukul delapan. Nurul Huda masuk ke ruang amplifyer dan kembali mengutak-atik listplay lagu-lagu Gombloh yang digemarinya. Ia kini memutar satu tembang yang dinyanyikan Tyas Drastitiana "Remy Anakku Sayang"

"Di timur kuning cakrawala / menyapa ramah padamu..."

Tak lama setelah lagu itu diputar, terlihat seorang pria dengan kaos putih tampak celingukan di depan warung. Kami melihat sosok itu dan spontan melambaikan tangan padanya,

"Mas Reeeemmmyy!!!!"

Orang itu menyahuti dan langsung menghampiri sekaligus menyalami kami satu per satu. Dialah Remy Wicaksono, putra tunggal sang maestro Gombloh yang datang jauh-jauh dari Sidoarjo. Kami langsung duduk di sebuah ruang panjang lesehan dengan meja-meja kecil. Ruang itu sedari tadi telah dipasang tulisan 'Reserved by MoGers'. Tentu saja MoGers adalah kami.

Suasana malam Surabaya semakin hangat. Perbincangan menjadi tungku dan semangat sebagai sebagai sesama penggemar Gombloh menjadi api yang memanaskan.

"Dari sekolah, kuliah sampai kerja, saya itu dianggap nyeleneh. Ketika banyak teman mengidolai dan menyanyikan lagu-lagu populer pada masanya, saat itu hanya saya seorang diri yang mengidolai Gombloh," ujar Affandy Willy Yusuf.

Nurul Huda pun demikian. Ia menceritakan pengalamannya, saat berulang kali ia menyetel lagu-lagu Gombloh di warungnya, tidak jarang banyak pertanyaan dari pengunjung, terutama kalangan anak muda tentang sosok penyanyinya. Tidak banyak yang tahu sosok Gombloh. Kerap kali Huda menjelaskannya dengan perlahan.

Remypun bercerita tentang secuil kenangannya bersama almarhum Bapaknya dulu. Ia juga berkisah tentang mimpinya, dimana ia selalu menanti-nanti terjadinya pertemuan antara para penggemar Gombloh yang sebenarnya sudah lama eksis di dunia maya.

Media sosial memang memiliki banyak sisi buruk, namun medsos seringkali mempersatukan antar kawan, antar saudara yang telah lama berpisah, maupun antar sesama penggemar ikon-ikon tertentu. Tidak ketinggalan pula MoGers. Sebagai sesama fans Gombloh yang tersebar di berbagai daerah. Kami menamakan diri sebagai MoGers (Memories of Gombloh & Lemon Trees). Kami dipersatukan via facebook dan berlanjut dengan group whatsapp. Berhubung di Surabaya cukup banyak ditemui fans Gombloh, maka beberapa inisiator mencoba mewacanakan adanya pertemuan untuk mewujudkan komunitas tersebut di dunia nyata. Malam itulah hari-H dilaksanakannya jadwal pertemuan awal MoGers Surabaya yang rencananya dihadiri beberapa orang.

Tidak lama, pria berkaos merah dengan gambar wajah Gombloh datang. Ia menyalami kami dan mengenalkan namanya. 

"Saya Wawan, yang akrab dipanggil Sret Kartolo," ujarnya dengan ramah.

Akhirnya datang lagi seorang penggemar Gombloh! Kami bersukacita, apalagi setelah mendengarnya berkisah bahwa selama ini ia merasa seorang diri dalam menggemari sosok Gombloh. Sekian lama ia dilanda kebingungan untuk mencari kawan yang bisa diajaknya berbincang tentang Gombloh. Berawal dari situlah akhirnya Wawan 'Sret Kartolo' begitu antusias saat mendengar rencana pertemuan ini via WhatsApp. Ia benar-benar datang di malam itu.

Beberapa menit kemudian setelah kehadiran Wawan, tampak seorang perempuan manis dan langsing, sedang berjalan bersama suaminya sembari menggandeng gadis kecil. Dialah Unnie Maharani, bersama suaminya, Atank Alfarisi, dan anaknya. Mereka berdua adalah sesama penggemar Gombloh sekaligus sedang berjuang untuk memindahkan patung Gombloh ke tempat yang layak.

"Patung Gombloh itu dibuat oleh almarhum suami saya yang pertama, bersama beberapa kawan. Sekarang patung itu sudah ada di tangan pemkot Surabaya dan ditempatkan di Museum Tugu Pahlawan; tapi keberadaan patung tersebut menimbulkan sengketa, karena Pak Didik, salah satu pembuatnya bersikeras untuk mengambil kembali patung berbahan perunggu tersebut demi keuntungan pribadinya, padahal hak cipta atas patung tersebut dimiliki oleh tiga orang, dan saya berjuang agar patung tersebut ditempatkan sebagaimana mestinya, bukan menjadi milik perseorangan saja, karena seniman yang lain, selain Pak Didik, sudah dengan ikhlas merelakan patung tersebut menjadi milik Surabaya. Selama ini saya berjuang seorang diri," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

Di tengah pertemuan awal demi terbentuknya komunitas MoGers, satu agenda sudah tersedia: kami akan berjuang demi keberadaan patung yang memiliki nilai historis sebagai patung pertama Gombloh di kota Surabaya.

"Sugeng dalu, sederek-sederek!"

Seorang pria berambut panjang datang dan menyapa kami sambil menenteng tas hitam. Ia menyalami semuanya dan mengenalkan namanya.

"Saya Arif dari daerah Tandes. Saya fans Gombloh dan dalam pertemuan ini saya membawa koleksi kaset Gombloh saya"

Arif lalu mengeluarkan koleksi kaset-kasetnya hingga membuat semua mata terbelalak. Koleksi kaset Gombloh yang cukup langka, dari album awal keluaran Golden Hand/Indra Record, hingga album akhir keluaran Nirwana Record.

Selagi mengamati kaset-kaset Gombloh, suara whatsapp penulis selalu berdenting tiap setengah jam sekali. Penulis membacanya semenjak pukul lima sore lalu.

"Baru otewe dari Tuban"

 "Lamongan"

"Gresik"

"Masuk tol Surabaya"

"Saya sudah sampai di depan mall Grand City"

"Sepertinya sebentar lagi sampai. Pacar Keling, ya? Sesuai peta"

Itulah rangkaian percakapan tentang update posisi ,via whatsapp yang dikirim oleh Wowok Paramatatwa, fans Gombloh dari Tuban. Sebagai seorang fans Gombloh sekaligus juara pertama kontes nyanyi mirip Gombloh tahun 1988, dirinya begitu antusias mendengar kabar pertemuan para MoGers di Surabaya, sampai-sampai ia rela datang jauh-jauh dari Tuban.

Tepat pukul sembilan, Wowok Paramatatwa dan Agus, kawannya muncul di WRK. Ia menyalami kami satu-persatu dan tak lupa memeluk Remy, putra dari idolanya.

"Dulu Remy masih kecil dan digendong Ibunya saat saya mengikuti lomba nyanyi di radio Suzana. Saya single fighter di Tuban, saya sendirian dalam membumikan lagu-lagu Gombloh di kota saya, dan sebagai orang yang pernah tidur di makam Gombloh, dalam keadaan apapun saya akan datang bila ada pertemuan sesama penggemar Gombloh!," ungkapnya berapi-api. 

Om Wowok ini terhitung paling sepuh diantara kami, namun semangatnya bahkan mengalahkan semua orang yang datang, juga kedalaman penggaliannya terhadap sosok Gombloh tidak diragukan lagi, ialah yang paling senior. Beliau juga mengungkapkan kisah masa lalunya, bahwa setelah mendapat kabar meninggalnya Gombloh, ia datang dari Tuban hingga Surabaya dan mungkin karena saking sedihnya ditinggal sang idola, ketika itu ia sempat semalaman suntuk terdiam menghadap nisan Gombloh di kompleks pemakaman Tembok, Surabaya.

Setelah saling berbincang cukup lama soal keberadaan fans Gombloh dan soal memperjuangkan patung Gombloh, Pak Wowok Paramatatwa melipat jaketnya, dan menjadikannya bantal. Ia sejenak merebahkan diri. Jelas karena terlalu lelah perjalanan jauh; namun belum sampai sepuluh menit rebahan, ia segera beranjak karena teman-teman yang lain minta foto bareng-bareng untuk dokumentasi.

Kurang lebih tiga jam lamanya kebersamaan tersebut, hingga menyeruak satu inti dari segala kehangatan yang terjadi, bahwa: "saya tak lagi sendiri". 

Remy menemukan mimpinya, yakni bertemu kawan-kawan baru yang mengidolai Bapaknya, Affandy dan Huda juga demikian, Wawan 'Sret Kartolo' tak lagi sendiri dan sirnalah sudah kebingungannya mencari kawan sesama fans Gombloh, Om Wowok menemukan semua kawan sehati dalam menggemari Gombloh, walaupun ia harus rela melintasi kota demi kota, Mbak Unnie tak lagi sendiri dalam memperjuangkan keberadaan patung Gombloh, Arief sang kolektor juga menemukan kawan-kawan baru yang dapat  diajak berbincang soal sang idola, berikut sejarahnya.

"Di gubuk di angan-angan / engkau kan membaca / di lekuk terjal bukitan / kau aku BICARA"

Penggalan lirik Gombloh dalam lagu berjudul 'Ranu Pane' itu seakan menuntaskan kerinduan sekaligus sebagai cerminan kehangatan dalam diri kami semua terhadap sosok sang maestro. Nyatanya fans Gombloh masih ada, kami masih bersama, bersaudara dalam satu kesukaan yang sama terhadap sosok Soedjarwoto Soemarsono yang akrab dipanggil Gombloh.

Selanjutnya, secara aklamasi, Affandy Willy Yusuf terpilih sebagai ketua MoGers Surabaya. Gagasan dan ide-idenya sangat dinanti-nantikan oleh semua fans Gombloh. Agenda selanjutnya dari MoGers Surabaya adalah memperjuangkan keberadaan patung Gombloh, sekaligus peresmian komunitas Memories of Gombloh & Lemon Tree's Anno '69 Surabaya. Kami share pertemuan itu di whatsapp, dan seluruh fans Gombloh dari berbagai daerah menyambutnya dengan gembira. Kawan-kawan dari Rembang, Pati, Blora, Jepara dan Kudus bahkan mengungkapkan agenda mereka untuk sama-sama membuat komunitas Memories of Gombloh.

Walau sederhana dan sejenak, pertemuan itu begitu berkesan, dan sekali lagi membawa pesan: "saya tak lagi sendirian"

"Ternyata semangatmu tidak sendirian, kawan!" Sesuai seruan Gombloh dalam salah satu lagunya.

Malam tunjuk pukul tiga.
Selamat malam, Surabaya.