Thursday, December 5, 2013

Gombloh di Mata Sahabatnya: Pelukis Poerono Sambowo




Gedung Balai Pemuda merupakan saksi bisu perjalanan seniman-seniman Surabaya yang banyak diantaranya berhasil menjadi kebanggaan nasional, bahkan dunia. Sebut saja Leo Kristi, Frangky Sahilatua, sastrawan S.Jai, dan masih banyak lagi. Gedung yang dibangun sejak masa kolonial dan masih terjaga keaslian bentuk arsitektural bangunannya itupun juga merupakan perekam jejak keseharian Gombloh, seorang maestro musik dari Surabaya. Di Balai Pemudalah Gombloh melakukan aktivitasnya, meliputi proses penciptaan karya-karyanya, diskusi sesama seniman, dan membuat even-even kesenian. 
 
Sebagai gedung kesenian, maka dapat dibilang bahwa kompleks gedung itu merupakan tempat berkumpulnya seniman, baik seniman teater,musik,seni lukis,seni tari dan seniman-seniman dari berbagai bidang. Para seniman membuat base camp yang dinamakan Komunitas Bengkel Muda, yang terletak di belakang musholla Balai Pemuda. Disana terdapat gedung dua tingkat, tempat dimana para seniman melakukan aktivitas diskusi, sekedar minum kopi, atau menjadikannya tempat menginap. Itupula yang dilakukan Gombloh di era ‘70-‘80an, dan konon, menurut Naniel Yakin, saksi hidup perjalanan kesenimanan Gombloh, mengatakan bahwa lagu ‘Kebyar-Kebyar’ yang fenomenal itu diciptakan oleh Gombloh saat sedang kerokan. “Ya, Gombloh menciptakan lagu ‘Kebyar-Kebyar’ di halaman depan base camp komunitas Bengkel Muda. Saat itu ia kena masuk angin, jadi ia menciptakan lagu sambil kerokan,” kenang Naniel sambil tertawa.

Kita mungkin banyak mendengar penuturan tentang kisah masa lalu Gombloh dari kawan musisinya dahulu, atau dari keluarga dekatnya. Nah, kita mungkin jarang mendengar penuturan kisah Gombloh dari seorang seniman lukis, bukan? 

Sebagai seniman yang menghabiskan kesehariannya di Balai Pemuda, tentu Gombloh banyak berkawan dengan para seniman dari berbagai bidang keahlian. Salah satu kawan dekatnya adalah seniman lukis terkenal Surabaya bernama Poerono Sambowo, atau akrab dipanggil Pak Pung. “Gombloh dulu sering menginap di lantai dua. Saat sudah menjadi artispun masih seperti biasanya, ia tetap kembali ke Bengkel Muda dan menghabiskan kesehariannya dengan diskusi, menulis syair dan lagu. Hanya beberapa waktu saja ia menyempatkan diri untuk pulang, atau ia keluar untuk show dan keluar dengan alasan ‘mencari inspirasi’ untuk karya-karyanya,” ujar Pak Pung.

Pelukis Poerono Sambowo
Ditanya mengenai Gombloh, Pak Pung sangat antusias dalam bercerita. Maklum, ia juga merasa kagum dengan karya Gombloh, maupun pribadinya yang sederhana. Diceritakannya, saat sudah menjadi artis dan memiliki banyak uang, Gombloh sering mempergunakan uang hasil shownya itu untuk mentraktir teman-temannya. “Dulu di sebelah Balai Pemuda ada sebuah gedung Bioskop, namanya ‘Mitra’. Nah, di pojok gedung bioskop Mitra terdapat warung ‘Mbak Jum’, sebuah warung kecil yang menjual berbagai makanan dan minuman. Disanalah Gombloh sering mentraktir teman-temannya. Bahkan, Gombloh kadang tidak sadar, bahwa uangnya sudah habis karena dipakai mentraktir; dan esoknya ketika butuh kopi atau rokok, iapun ngutang,” kenang Pak Pung sambil terpingkal-pingkal.

Rupanya, selain sebagai musisi, Gombloh juga merupakan penikmat seni lukis. Menurut penuturan Poerono Sambowo, Gombloh seringkali bolak-balik berkunjung ke galeri seni rupa AKSERA (Akademi Seni Rupa Surabaya), di daerah Dukuh Kupang, Surabaya. “Gombloh juga tidak pernah luput untuk menyaksikan berbagai even pameran lukisan di Surabaya. Tapi ia tak pernah sekalipun mengomentari sebuah lukisan. Ia cenderung menikmati dan mengaguminya.saja,” tutur pelukis sepuh yang juga alumni AKSERA itu.

Poerono Sambowo, pelukis yang lahir pada tanggal 27 Februari 1941 itu mengisahkan bahwa ia pernah memiliki kenangan yang tak terlupakan soal Gombloh. Dikisahkannya, suatu kali seniman-seniman yang tergabung dalam Komunitas Bengkel Muda membuat even bertema ‘Gebyar Seni Pemuda’. Acara itu diselenggarakan pada sekitar awal tahun 80’an di Balai Pemuda dan kebetulan Poerono Sambowo ditugaskan untuk melukis poster acara tersebut. “Saat itu saya melukis poster yang berukuran cukup besar. Nah, ketika saya hendak menggambar wajah Gombloh sebagai bintang tamu, Gombloh berpesan kepada saya, ‘Pung, koen nggambar aku elek gak opo-opo, pokokke ojok Tuwek (Pung, kamu boleh menggambar aku  jelek, tapi  pokoknya wajahku jangan kelihatan tua)’. Komentar itulah yang saat itu membuat saya dan teman-teman yang mendengarnya tertawa terbahak-bahak. Itulah lelucon yang paling saya ingat dari Gombloh,” ujar pria yang kini berusia 73 tahun itu.

Sebagai sahabat dekat, sekaligus teman diskusi yang akrab, Poerono pun cukup kaget ketika mendengar berita meninggalnya sang maestro. “Saya ketika mendengar berita itu langsung lari menuju rumah duka. Disana rupanya sudah sangat penuh dengan para pelayat. Esoknya, ketika hari pemakaman, saya turut serta mengiringinya, bahkan bukan hanya saya, bukan hanya kawan-kawan maupun kerabat-kerabat Gombloh, tapi juga seluruh masyarakat Jawa Timur. Pada hari pemakaman, terlihat kerumunan masyarakat yang menghadiri pemakamannya menyemut, hingga memacetkan jalan-jalan di Surabaya. Sungguh, suasana pemakamannya begitu ramai dan itu membuktikan bahwa masyarakat Indonesia, khususnya Surabaya dan Jawa Timur, sangat merasa kehilangan. Gombloh adalah seniman besar yang pernah dimiliki dan ada di hati kita semua. Ketika itu semuanya larut dalam suasana sedih, bahkan Mbak Jum, pemilik warung yang menjadi langganan Gombloh menangis histeris saat mendengar kabar meninggalnya Gombloh,” kenangnya. 

Sosok maestro yang bersahaja, yang tetap sederhana dalam kesehariannya itu meninggalkan banyak kenangan indah. Kawan sesama seniman, kerabat dan masyarakat saat itu diliputi kesedihan mendalam. Duka dan tangisan mengiringi kepergiannya. Namun sekalipun ia telah pergi, ia meninggalkan satu hal yang masih dapat kita temui: buah-buah pemikiran yang pernah dituangkannya dalam bentuk karya musik. Nada, irama, dan syair-syair sang maestro akan menuntun kita pada sebuah kenangan manis tak terlupakan: Indonesia pernah punya musisi besar, namanya Soedjarwoto Soemarsono. Ia akrab dipanggil Gombloh.


Pose bareng Mahasiswa UK Petra, Pak Pung, Cak Naniel di halaman Bengkel Muda Surabaya.





 *29 November. Hasil wawancara bareng tim design grafis UK Petra, Surabaya. Foto-foto diambil dari Fb Memories of Gombloh dan foto pribadi Poerono Sambowo.