Gedung Balai Pemuda
merupakan saksi bisu perjalanan seniman-seniman Surabaya yang banyak
diantaranya berhasil menjadi kebanggaan nasional, bahkan dunia. Sebut saja Leo
Kristi, Frangky Sahilatua, sastrawan S.Jai, dan masih banyak lagi. Gedung yang
dibangun sejak masa kolonial dan masih terjaga keaslian bentuk arsitektural
bangunannya itupun juga merupakan perekam jejak keseharian Gombloh, seorang maestro musik dari
Surabaya. Di Balai Pemudalah Gombloh melakukan aktivitasnya, meliputi
proses penciptaan karya-karyanya, diskusi sesama seniman, dan membuat even-even
kesenian.
Sebagai gedung kesenian,
maka dapat dibilang bahwa kompleks gedung itu merupakan tempat berkumpulnya
seniman, baik seniman teater,musik,seni lukis,seni tari dan seniman-seniman dari
berbagai bidang. Para seniman membuat base camp yang dinamakan Komunitas
Bengkel Muda, yang terletak di belakang musholla Balai Pemuda. Disana terdapat
gedung dua tingkat, tempat dimana para seniman melakukan aktivitas diskusi,
sekedar minum kopi, atau menjadikannya tempat menginap. Itupula yang dilakukan
Gombloh di era ‘70-‘80an, dan konon, menurut Naniel Yakin, saksi hidup
perjalanan kesenimanan Gombloh, mengatakan bahwa lagu ‘Kebyar-Kebyar’ yang
fenomenal itu diciptakan oleh Gombloh saat sedang kerokan. “Ya, Gombloh
menciptakan lagu ‘Kebyar-Kebyar’ di halaman depan base camp komunitas Bengkel
Muda. Saat itu ia kena masuk angin, jadi ia menciptakan lagu sambil kerokan,”
kenang Naniel sambil tertawa.
Kita mungkin banyak mendengar
penuturan tentang kisah masa lalu Gombloh dari kawan musisinya dahulu, atau
dari keluarga dekatnya. Nah, kita mungkin jarang mendengar penuturan kisah
Gombloh dari seorang seniman lukis, bukan?
Sebagai seniman yang
menghabiskan kesehariannya di Balai Pemuda, tentu Gombloh banyak berkawan
dengan para seniman dari berbagai bidang keahlian. Salah satu kawan dekatnya
adalah seniman lukis terkenal Surabaya bernama Poerono Sambowo, atau akrab
dipanggil Pak Pung. “Gombloh dulu sering menginap di lantai dua. Saat sudah
menjadi artispun masih seperti biasanya, ia tetap kembali ke Bengkel Muda dan
menghabiskan kesehariannya dengan diskusi, menulis syair dan lagu. Hanya beberapa waktu saja ia menyempatkan
diri untuk pulang, atau ia keluar untuk show
dan keluar dengan alasan ‘mencari inspirasi’ untuk karya-karyanya,” ujar Pak
Pung.
Pelukis Poerono Sambowo |
Ditanya mengenai
Gombloh, Pak Pung sangat antusias dalam bercerita. Maklum, ia juga merasa kagum
dengan karya Gombloh, maupun pribadinya yang sederhana. Diceritakannya, saat
sudah menjadi artis dan memiliki banyak uang, Gombloh sering mempergunakan uang
hasil shownya itu untuk mentraktir teman-temannya. “Dulu di sebelah Balai Pemuda
ada sebuah gedung Bioskop, namanya ‘Mitra’. Nah, di pojok gedung bioskop Mitra
terdapat warung ‘Mbak Jum’, sebuah warung kecil yang menjual berbagai makanan
dan minuman. Disanalah Gombloh sering mentraktir teman-temannya. Bahkan,
Gombloh kadang tidak sadar, bahwa uangnya sudah habis karena dipakai
mentraktir; dan esoknya ketika butuh kopi atau rokok, iapun ngutang,” kenang Pak Pung sambil
terpingkal-pingkal.
Rupanya, selain sebagai
musisi, Gombloh juga merupakan penikmat seni lukis. Menurut penuturan Poerono
Sambowo, Gombloh seringkali bolak-balik berkunjung ke galeri seni rupa AKSERA
(Akademi Seni Rupa Surabaya), di daerah Dukuh Kupang, Surabaya. “Gombloh juga
tidak pernah luput untuk menyaksikan berbagai even pameran lukisan di Surabaya.
Tapi ia tak pernah sekalipun mengomentari sebuah lukisan. Ia cenderung
menikmati dan mengaguminya.saja,” tutur pelukis sepuh yang juga alumni AKSERA
itu.
Poerono Sambowo,
pelukis yang lahir pada tanggal 27 Februari 1941 itu mengisahkan bahwa ia
pernah memiliki kenangan yang tak terlupakan soal Gombloh. Dikisahkannya, suatu
kali seniman-seniman yang tergabung dalam Komunitas Bengkel Muda membuat even
bertema ‘Gebyar Seni Pemuda’. Acara itu diselenggarakan pada sekitar awal tahun
80’an di Balai Pemuda dan kebetulan Poerono Sambowo ditugaskan untuk melukis poster acara
tersebut. “Saat itu saya melukis poster yang berukuran cukup besar. Nah, ketika
saya hendak menggambar wajah Gombloh sebagai bintang tamu, Gombloh berpesan
kepada saya, ‘Pung, koen nggambar aku elek gak opo-opo, pokokke ojok Tuwek
(Pung, kamu boleh menggambar aku jelek,
tapi pokoknya wajahku jangan kelihatan tua)’.
Komentar itulah yang saat itu membuat saya dan teman-teman yang mendengarnya
tertawa terbahak-bahak. Itulah lelucon yang paling saya ingat dari Gombloh,”
ujar pria yang kini berusia 73 tahun itu.
Sebagai sahabat dekat,
sekaligus teman diskusi yang akrab, Poerono pun cukup kaget ketika mendengar
berita meninggalnya sang maestro. “Saya ketika mendengar berita itu langsung
lari menuju rumah duka. Disana rupanya sudah sangat penuh dengan para pelayat.
Esoknya, ketika hari pemakaman, saya turut serta mengiringinya, bahkan bukan
hanya saya, bukan hanya kawan-kawan maupun kerabat-kerabat Gombloh, tapi juga seluruh
masyarakat Jawa Timur. Pada hari pemakaman, terlihat kerumunan masyarakat yang
menghadiri pemakamannya menyemut, hingga memacetkan jalan-jalan di Surabaya.
Sungguh, suasana pemakamannya begitu ramai dan itu membuktikan bahwa masyarakat
Indonesia, khususnya Surabaya dan Jawa Timur, sangat merasa kehilangan. Gombloh
adalah seniman besar yang pernah dimiliki dan ada di hati kita semua. Ketika
itu semuanya larut dalam suasana sedih, bahkan Mbak Jum, pemilik warung yang
menjadi langganan Gombloh menangis histeris saat mendengar kabar meninggalnya
Gombloh,” kenangnya.
Sosok maestro yang
bersahaja, yang tetap sederhana dalam kesehariannya itu meninggalkan banyak kenangan
indah. Kawan sesama seniman, kerabat dan masyarakat saat itu diliputi kesedihan
mendalam. Duka dan tangisan mengiringi kepergiannya. Namun sekalipun ia telah
pergi, ia meninggalkan satu hal yang masih dapat kita temui: buah-buah
pemikiran yang pernah dituangkannya dalam bentuk karya musik. Nada, irama, dan
syair-syair sang maestro akan menuntun kita pada sebuah kenangan manis tak
terlupakan: Indonesia pernah punya musisi besar, namanya Soedjarwoto
Soemarsono. Ia akrab dipanggil Gombloh.
Pose bareng Mahasiswa UK Petra, Pak Pung, Cak Naniel di halaman Bengkel Muda Surabaya. |
*29 November. Hasil wawancara bareng tim design grafis UK Petra, Surabaya. Foto-foto diambil dari Fb Memories of Gombloh dan foto pribadi Poerono Sambowo.
No comments:
Post a Comment