Monday, July 29, 2013

Memoar Pak Jey: Pembuat Patung Gombloh di Kampoeng Seni THR Surabaya dan Memoarnya tentang Gombloh

(alm) Jay Supriadi

Sore itu di Kampoeng Seni Surabaya, seusai Sekaring Jagad perform di even KPJ Surabaya di Kampoeng Seni, kami menyempatkan diri untuk bertandang ke tempat Pak Jey: perupa pembuat patung Gombloh yang hingga kini karyanya terpajang megah di depan pelataran Kampoeng Seni. Kediaman Pak Jey tidak jauh dari tempat kami perform. Beliau menempati salah satu bilik di Kampoeng Seni Surabaya. Saat ditemui, ia sedang terbaring lemah di sebuah kasur polos yang tergeletak di kamar tidurnya, Ia hanya ditemani Tv dan istrinya, Unnie, yang setia merawatnya.

"Sugeng ndalu Pak Jey (selamat malam, Pak Jey)," kami mengawali dengan sapaan. Dengan ramah Pak Jey mempersilahkan kami untuk masuk dan beliau mencoba bangun dari rebahnya, namun kami melarangnya dengan alasan kondisi beliau yang sakit tidak mungkin dipaksakan untuk duduk. Maka ketika itu Pak Jey berbincang-bincang dengan kami sembari tiduran. Istrinya bercerita kepadanya bahwa kami adalah band Sekaring Jagad, yang tadi tampil membawakan lagu-lagu Gombloh. Setelah mendengar cerita dari istrinya, Pak Jey terlihat sumringah. Rupanya ia sejak tadi penasaran terhadap siapa yang membawakan lagu-lagu Gombloh yang didengarnya.

patung Gombloh di KS Sby
"Rupa-rupanya masih ada anak muda yang begitu ngefans dengan Gombloh. Kalian bisa membawa kembali ingatan masyarakat Surabaya yang mulai pudar. Teruskan semangat kalian. Bawa Gombloh kembali ke dalam hati masyarakat, supaya mereka, generasi lama kembali bernostalgia, sedangkan generasi baru bisa mulai mengenal, bahwa kota ini pernah memiliki maestro musik besar seperti Gombloh," ungkap Pak Jey bersemangat. Perlahan beliau mulai bercerita tentang pengalamannya saat muda, saat mengikuti proses berkesenian Gombloh sekaligus tindak-tanduknya.
"Kalian ingin tahu ceritanya?," begitulah ia memulai cerita dengan sebuah pertanyaan yang memancing rasa ingin tahu kami. Seketika pertanyaan itu bak mengembalikan kami pada masa anak-anak yang serba ingin tahu. Secara tidak sadar, kami mulai beringsut mendekati Pak Jey dan memasang telinga terang-terang, sembari diliputi rasa penasaran.

Pak Jey bercerita kepada kami tentang sosok Gombloh. Menurutnya, Gombloh adalah seniman besar yang tidak kenal waktu dan tempat bila memperoleh ide. "Ide kreatif Gombloh bisa muncul dimana saja, dan seketika ide itu muncul, Gombloh akan menghentikan semua aktivitasnya untuk sejenak menuangkan ide tersebut. Ide-ide yang muncul itu ditulisnya diatas kertas, kemudian dinyanyikannya," ungkap Pak Jey. Tambah Pak Jey, pernah pula saat Gombloh sedang dalam perjalanan sembari menyetir, ia tiba-tiba beroleh ide. Saat itupula Gombloh menepikan mobilnya untuk sejenak mencatat ide yang muncul dalam kepalanya.

"Satu lagi, Gombloh itu kuat sekalipun ia adalah perokok berat," kenang Pak Jey. Dikisahkannya, salah satu kelebihan Gombloh adalah kemampuannya berjalan jauh. Pernah suatu ketika ia bersama kawan-kawannya diajak untuk berjalan-jalan. Ketika menempuh jarak beberapa kilometer dengan berjalan kaki, ia dan kawan-kawannya mulai mengeluh kecapaian dan menganjurkan Gombloh untuk berhenti sejenak. "Saat itu ia mengiyakan sambil tertawa. Heran, ia tidak ada rasa capek sekalipun sudah berjalan jauh," tambah Pak Jey. Itulah salah satu dari sekian banyak kelebihan Gombloh menurut Pak Jey. Selain mampu berjalan jauh, Gombloh juga seorang pribadi yang selalu bersemangat dan selalu tampil sederhana dan apa adanya.

Tak terasa sudah sejam lebih kami mendengarnya bercerita. Pembicaraan yang mengarah kepada memoar maestro musik besar Surabaya itu perlahan beralih pada diri Pak Jey sendiri, utamanya karya patungnya yang berdiri megah di pelataran Kampoeng Seni Surabaya. "Ya itu ironisnya. Pemkot tidak memperhatikan Kampoeng Seni semacam ini. Mereka hanya menyediakan lahan, kemudian dibiarkan. Bahkan patung saya nasibnya mungkin akan muram juga bila tak ada perhatian dari kawan-kawan seniman dari berbagai daerah yang peduli," keluhnya. Ironis memang, Surabaya tak memiliki kepedulian terhadap eksistensi seniman sekaligus tak memiliki inisiatif untuk memonumenkan patung seniman besar seperti Gombloh. Bila tak ada Pak Jey, maka hingga saat ini Surabaya tak akan memiliki patung Gombloh. Pernah ada wacana untuk memindahkan patungnya ke Balai Pemuda, Surabaya yang terletak di pusat kota, atau menamakan gedung baru di Balai Pemuda sebagai Gedung 'Gombloh'; namun hingga saat ini masih ngambang sebatas wacana. Perawatan patung itupun dilakukan oleh kalangan seniman dan beberapa masyarakat yang peduli, yang dengan rutin datang dan melakukan kegiatan pencucian, perawatan patung dan sebagainya.

Begitulah pertemuan kami dengan seorang seniman yang juga fans berat Gombloh. Siapa yang menyangka bahwa itu adalah pertemuan terakhir kami dengan beliau, sebab pada Senin, 19 November 2012, Pak Jey pergi meninggalkan kita semua karena sakitnya. Sebuah berita yang saat itu mengejutkan kalangan seniman, pemerhati seni dan fans-fans Gombloh yang tersebar di seluruh dunia. Pak Jey pergi meninggalkan kenangan megah: maestro yang gagah berdiri, yang tak pernah dalam semangatnya ia merasa sendiri. Maestro itu berdiri teguh di pelataran kampoeng seni, menghadap mall yang berdiri dengan angkuh di hadapannya. Tatapan matanya yang mencerminkan kelembutan, kebersahajaan serta nasionalisme yang terungkap dalam karya-karyanya. Tetap tegar berdiri dan diingat; matanya menatap simbol modernitas di hadapannya yang kerap menawarkan ketidakpastian, sekejap meriap kemudian hilang tanpa bekas: lenyap. Ya, modernitas seringkali menawarkan berbagai hal yang tak keruan juntrungannya. Berbeda dengan sang maestro, Gombloh maupun Pak Jey, mereka menawarkan ingatan sebagai media perenungan yang terus berlayar dan singgah dari jaman ke jaman.
Selamat jalan Pak Jey..doa kami besertamu..

*foto diambil dari akun Fb Unnie OI & Memories of Gombloh

Sekaring Jagad perform di Acara KPJ di Kampoeng Seni Surabaya

Sekaring Jagad dan Klanthink

Akhir tahun 2011 adalah saat-saat dimana Sekaring Jagad mulai berkenalan dengan kawan-kawan seniman yang tergabung dalam Komunitas Pengamen Jala
nan (KPJ) Surabaya. Awal mulanya, kami berkenalan terlebih dahulu dengan Bokir Surogenggong, musisi asal Surabaya yang mengaku sebagai saksi hidup perjalanan dan proses berkesenian Gombloh semasa hidupnya. Selain itu, Bokir juga tercatat sebagai ketua KPJ Surabaya (saat itu). Dari situlah perkenalan kami berlanjut ke lingkup yang lebih luas, yakni kami beroleh kenalan kawan-kawan seniman dari KPJ yang mempunyai basecamp di Kampoeng Seni (Belakang Mall THR), Surabaya.

Kampoeng Seni Surabaya adalah tempat berkumpulnya para seniman Surabaya, baik seniman-seniman tradisional maupun modern. Di tempat tersebut terdapat beberapa gedung kesenian, seperti gedung Srimulat, gedung Ludruk Irama Budaya sampai dengan base camp OI (fans Iwan Fals) Surabaya, dan lain-lain. Disana pula terdapat patung Gombloh satu-satunya yang ada di Surabaya. Seniman pembuat patung tersebut adalah (alm) Pak Jey yang ketika itu terbaring lemah karena sakit. Kebetulan saat itu beliau menempati salah satu bilik di Kampoeng Seni Surabaya. Kami sempat pula berkenalan dengan Pak Jey yang pada saat itu sempat bercerita tentang pengalamannya bersama dengan Gombloh.

Di tempat itupula kami mengenal kawan-kawan yang hingga kini menjadi sahabat dekat Sekaring Jagad, yakni Serdadoe Band yang ketika itu digawangi oleh Andy, Bengal dan Gemblonk. Saat hari-H, mereka juga tampil bersama kami dan Klanthink disana. Dal
am perkembangannya, Tatok (gitaris kami) turut membantu pula proses kreatif Serdadoe hingga kami berdua kerap kali ditawari untuk manggung bersama dalam sebuah acara.

Kebetulan saat itu KPJ Surabaya akan menyelenggarakan even untuk memperingati Hari Pahlawan 10 November. Tema acara yang mereka gagas ketika itu adalah 'Refleksi Hari Pahlawan' yang rencananya akan diadakan di panggung Kampoeng Seni Surabaya. Bak gayung bersambut, rupanya kami diperkenankan untuk menjadi pengisi acara bersama Klanthink (jawara IMB) di tempat itu. Selain kami, adapula penampil-penampil, yakni Deva 'Anak Bangsa', Serdadoe dan beberapa grup serta kelompok-kelompok kesenian tradisional.

Acara yang dimulai sejak sore hari itu mendapat respon positif dari masyarakat. Penonton yang datang cukup memenuhi ruangan-ruangan yang ada di Kampoeng Seni THR. Saat itu Sekaring Jagad mendapat giliran perform pada sekitar Pukul 20.00 WIB, tepat sebelum Klanthink memungkasi acara tersebut. Total, tiga buah lagu Gombloh kami bawakan dan berhasil mencairkan suasana dengan joke-joke segar yang diambil dari lirik lagu 'Lepen'. Saat acara usai, kami dan kawan-kawan crew menyempatkan diri untuk berfoto bersama Klanthink. Sejak itulah dalam waktu-waktu berikutnya kami selalu mendapat kesempatan perform setiap kali KPJ mengadakan even.

Bokir Surogenggong