Surabaya | Gombloh meninggal di puncak kariernya. Seniman mumpuni
ini, seolah-olah ‘menilap’ banyak orang. Dia pergi justru ketika
orang-orang makin percaya pada dinamika kariernya, dan juga perkembangan
kesehatannya. Hari itu, 9 Januari 1988, Surabaya menjadi begitu muram.
Malam Minggu tak seperti biasanya, menjadi malam sarat akan duka. Di
mana-mana, orang lantas membicarakan kepergian seniman pujaannya, dalam
nada yang nyaris tak percaya kebenaran berita yang didengarnya. Akan
tetapi, ketika kemudian TVRI Surabaya menyiarkan berita duka itu-lengkap
dengan penayangan gambar almarhum di RS Darmo, tempat almarhum dirawat
sebelum meninggal, barulah orang-orang itu yakin bahwa sang bintang
pujaan memang telah berpulang.
Pembicaraan tentang kematian sang seniman jadi semakin meluas pada esok
paginya, terutama setelah media massa yang terbit Minggu pagi sontak
menurunkan berita duka itu sebagai berita utama. Hampir seluruh radio di
Jawa Timur secara spontan sehari penuh mengudarakan lagu-lagu Gombloh,
sejak album pertamanya hingga album terakhirnya. Suasana menjadi sangat
dramatis, yang tak pernah dijumpai pada saat meninggalnya artis-artis
ataupun seniman-seniman lain. Rasa kehilangan semakin terekspresikan
dengan jelas pada saat pemakaman. Ribuan orang ikut mengiring
jenazahnya, menyaksikannya untuk yang terakhir kali. Bahkan seolah-olah
seperti mau ngalap berkah almarhum, sehingga banyak yang saling berebut
hendak memanggul keranda tempat almarhum terbujur, ketika dinaikkan di
mobil jenazah, dan ketika menuju tempat istirahatnya yang terakhir.
Jenazah diberangkatkan dari rumah duka sekitar pukul 10.00 WIB. Prosesi
jenazah dikawal langsung oleh mobil patroli Polwiltabes Surabaya. Lalu
diikuti konvoi klub Harley Davidson, klub Mercy Surabaya, iring-iringan
puluhan mobil dan sepeda motor, hingga bus kota DAMRI. Bahkan tak
ketinggalan ada juga yang mengayuh sepeda pancal dan becak. Sepanjang
perjalanan sejauh ± 15 kilometer dari rumah duka ke pemakaman umum
Tembok tersebut, iring-iringan menjadi semakin panjang dan banyak,
karena masyarakat di sepanjang jalan yang dilalui iringan-iringan ini
spontan ikut bergabung.
Sebuah belasungkawa spontan yang begitu luar biasa. “Gombloh..
Gombloh..”, teriak orang-orang di sepanjang jalan. Ada beberapa remaja
yang sampai-sampai berteriak histeris, menyebutkan nama Gombloh sambil
mengacungkan tangannya. Suasana ini seakan-akan melebihi sebuah pawai
dari salah satu organisasi peserta Pemilu. Berkerudung hitam, istri
almarhum, Wiwiek ikut mengantar sambil dipapah oleh ayah almarhum, Pak
Slamet dan Yodi, keponakannya. Eddy Sud, Arie Wibowo, Rinto Harahap, dan
beberapa artis teman dekat almarhum, juga ikut berada dalam rombongan
iring-iringan tersebut. Tak ketinggalan seluruh kerabat dan sanak
keluarga besar almarhum.
Gerbang makam yang berada di tengah pasar itu jadi sarat lautan manusia.
Mobil jenazah pun geraknya menjadi tersendat-sendat, sulit menembus
gelombang manusia yang begitu dahsyatnya. Terlebih ketika keranda
diturunkan dari mobil jenazah, puluhan orang berebut untuk ikut kebagian
memanggulnya. “Kita semua merasa sangat kehilangan. Wajar saja kalau
suasananya menjadi seperti ini”, komentar Eddy Sud, koordinator Artis
Safari. Berbusana safari coklat, lengkap dengan lencana DPRnya, Eddy
menambahkan, “Saya tak menduga, ia akan dipanggil Tuhan secepat ini.
Tidak hanya masyarakat Surabaya yang merasakan kehilangan atas perginya
almarhum, tapi kita semua merasakannya. Bangsa Indonesia kehilangan
salah seorang seniman terbaiknya”. Bahkan Eddy Sud menyebut Gombloh
sebagai pribadi yang penuh optimisme dan memiliki semangat kerakyatan.
Rinto Harahap, ketua ASIRI (Asosiasi Industri Rekaman Indonesia) yang
ikut hadir melayat, berkomentar, “Hanya Gombloh yang dapat meramaikan
bahkan menghibur masyarakat melalui lagu-lagunya yang gampang dicerna.
Sudah saatnya Gombloh bukan hanya jadi milik Surabaya, tetapi sudah
menjadi aset nasional”. Menurut Rinto, dengan meninggalnya Gombloh,
dunia musik pop Indonesia kehilangan tokoh penting dan berharga, karena
lagu-lagu Gombloh memberikan warna lain dalam khasanah musik bangsa.
Titi Qadarsih, tangisnya meledak, begitu sampai di depan gundukan tanah
tempat almarhum disemayamkan untuk selama-lamanya. Seorang pengawalnya,
terpaksa memapah Titi yang limbung. Titi mengaku menyesal terlambat
datang di saat kepergian almarhum, hanya sempat melihat gundukan tanah
yang telah ditimbuni belasan karangan bunga. “Saya datang terlambat,
karena pesawatnya terlambat. Saya kehilangan teman terbaik. Saya tak
menyangka empat hari lalu adalah saat terakhir saya melihatnya“, tutur
Titi sambil sesenggukan.
Arie Wibowo, yang ikut melayat ke rumah duka mengatakan, “Saya mengagumi
Gombloh sejak album Kebyar-Kebyar, yakni sejak saya belum serius terjun
ke dunia musik”. Karena itu, ketika dia punya kesempatan bekerjasama
dengan almarhum, dia senang sekali. Album yang digarap bareng itu
berjudul “Di Radio, Ada Anak Singkong”. Duet Gombloh dan Arie Wibowo ini
bahkan sempat dicetak ke dalam bentuk compact disc, dan merupakan
satu-satunya compact disc karya musisi Indonesia yang digarap di luar
negeri, di Jepang. “Sebelum meninggal, rencananya almarhum akan duet
dengan saya untuk kedua kalinya, pada Maret 1988. Rencana dan materi
sudah siap, bahkan sampai pada itung-itungan honor juga. Tapi sayangnya,
Tuhan berkata lain”, ujarnya.
Akhudiat, dramawan dan sastrawan Surabaya yang juga kenal dekat dengan
almarhum, mengatakan bahwa Gombloh pantas disebut sebagai tokoh dalam
industri musik pop. “Tentu saja ketokohannya harus ditakar dari
paradigma musik pop, jangan ditakar dari ukuran jenis musik yang lain.
Lagu almarhum, punya identitas. Ya identitas kegomblohannya itu, yang
hingga saat ini tidak dipunyai penyanyi lain. Dia lahir dari sikap yang
mandiri, bukan epigon siapa-siapa”, ujarnya. Vicki Vendi, mengatakan
“Saya kehilangan kawan, sekaligus guru bagi saya pribadi”. Penyanyi yang
telah melahirkan tujuh album, enam di antaranya adalah karya Gombloh
ini, sejak malam meninggalnya Gombloh terlihat sangat sibuk, ikut
membantu tuan rumah menyambut para pelayat.
*) Disadur dari buku “Blues untuk Kim“, yang sebelumnya dimuat di Suara Indonesia, 17 Januari 1988
tribute to Indonesian Legends https://www.youtube.com/watch?v=1qb_9XfmQI0
ReplyDeleteSaya ikut melayatnya, waktu itu saya menggendong ayahnya dari kursi roda sebelah kirinya sedang sebelah kanan di pegang sama Edi Sud dari jalan makam menuju liang lahat Gombloh
ReplyDeleteJancok,, moco nganti mbrebes mili :'(
ReplyDeleteCak, ono sing ngedol buku "blues untuk Kim" gak?
Nek ono tak tukune Cak