Sunday, February 17, 2013

SERIAL MEMORIES OF GOMBLOH: Selasa Malam Sampai ke Sabtu Kelabu (by: Dhahana Adi)

Surabaya | Selasa malam, Gombloh pulang dari Jakarta. Kepada istrinya, dia mengeluh capek. Karena itu, semalaman itu dia tak pergi ke mana-mana. Setelah bercanda dengan Remmy, anaknya dia tidur. Tetapi sebelum tidur, dia minta minum. Diambilkan air putih. Gombloh tidak mau.  “Dia minta sirup”, kata Wiwiek. Kebetulan persediaan sirupnya tinggal sedikit. Gombloh pun ngomel, “Kamu harus sedia sirup yang banyak. Sebentar lagi kita akan kebanjiran tamu”, kata Gombloh kala itu ditirukan oleh Wiwiek. Kata-kata itu tentu saja tidak punya arti apa-apa bagi Wiwiek termasuk tidak memahami kalau itu sebenarnya suatu isyarat akan meninggalnya Gombloh. Wiwiek mulai merasa tidak enak. Apalagi makam sebelumnya, dia mimpi gigi paling belakangnya tanggal.
Soal mimpi dan kekhawatirannya itu, lantas diceritakan ke Gombloh. “Walah ojok kakean pikiran. Nek wes tiba wancine, apapun bisa terjadi. Tenang ae, aku gak popo kok”, kata Gombloh menanggapi mimpi istrinya. Wiwiek jadi tenang kembali, tetapi kemudian pikirannya tidak enak lagi. Lagi-lagi Gombloh dengan tenang menanggapi pikiran istrinya itu, “Wis ta lah ojo kakean pikiran, nek wes ancen nahase, menungso gak iso ngeles”.

Setelah sama-sama sibuk, Wiwiek sibuk masak, Gombloh pun tiduran dan kemudian guyonan dengan Remmy sepulangnya dari sekolah. Masalah mimpi dan firasat-firasat langsung terlupakan begitu saja. Gombloh seharian tinggal di rumah. Baru pada malam harinya, dia pamit mau rekaman di Nirwana Record. “Saya pulangnya malam. Kamu tidur saja bersama Remmy, tidak usah menunggu”, kata Gombloh, seperti yang diceritakan Wiwiek. Dengan alasan agar tidak mengganggu Wiwiek kalau pulang nanti, Gombloh membawa kunci rumah dan menguncinya dari luar. Hal yang begini, memang sering dilakukan Gombloh kalau dia keluar malam.

Akibatnya, ketika malam itu teman Gombloh datang menjemput Wiwiek, memberitahukan bahwa suaminya sakit dan dilarikan ke UGD RS Dr. Soetomo, maka Wiwiek harus melompat pagar karena kunci rumahnya dibawa oleh Gombloh. “Teman Cak Su datang sekitar jam 03.00 pagi”, kisah Wiwiek. Rupanya teman-temah almarhum ini menggedor-gedor pagar rumah Gombloh sampai sekitar setengah jam, karena tempat tidur Wiwiek ada di belakang, maka gedoran itu tak terdengar.

Sesampainya Wiwiek di UGD, ternyata Gombloh sudah siuman. “Wiek, aku maeng semaput”, ujarnya, tanpa menjelaskan dia pingsan di mana. Karena tidak boleh banyak ngobrol oleh dokter, Wiwiek meminta agar suaminya tidur saja. Gombloh sendiri meski terlihat dalam keadaan payah, berusaha membesarkan hati istrinya dan teman-temannya, yang pagi itu juga langsung menjenguknya. Dia pun melakukan canda-canda ringan. Salah seorang perawat yang akan mengganti botol infusnya, jadi ‘korban’ candanya. Ketika jarum infus akan ditusukkan ke lengannya, Gombloh nyeletuk minta infusnya diganti saja karena sudah tua dan nggak enak.

Karena perawat tadi merasa bahwa jarum infus itu masih baru, maka dia mencoba menjelaskan pada Gombloh. Tapi toh akhirnya diganti juga. Gombloh pun senang. “Maklum dik saya akan tampil di TV malam Minggu nanti”, ucap Gombloh seperti ditirukan oleh Gunawan, salah satu temannya di Nirwana Record. Pukul 06.00, Gombloh terlihat sudah tidur pulas. Wiwiek ijin pulang duluan, untuk memandikan Remmy dan membuka kunci rumah.

Pukul 07.15, Wiwiek kembali ke UGD. Melihat wajah suaminya yang nampak kuyu, dan jarum infus yang melekat di lengannya, membuat Wiwiek teringat kembali mimpinya, kelakuan dan permintaan suaminya yang aneh-aneh. Kekhawatirannya itu semakin bertambah, ketika siang harinya oleh dokter, Gombloh disarankan untuk pindah ke RS Darmo. Di rumah sakit ini, Gombloh langsung ditangani dokter yang merawatnya sejak tahun 1980, dr. Sucipto Dwijo.

Sabtu paginya, Gombloh kelihatan lebih segar. Semua keluarganya bahkan teman-temannya merasa lega melihat hal ini. Bahkan ketika itu, Gombloh sudah bisa melucu. Tak ada tanda-tanda sedikitpun bahwa hari itu adalah hari terakhirnya dia hidup di dunia. Kepada istrinya pun Gombloh membesarkan hatinya, “Pulanglah, Wiek, saya tak apa-apa kok”, kata Gombloh, sekitar pukul 12 siang lebih. Wiwiek pun menuruti permintaan Gombloh, dan tidak tahunya, beberapa saat kemudian, sekitar pukul 13.00, seniman besar ini menghembuskan nafasnya yang terakhir. Gombloh pun meninggal dunia dalam kesendirian, tak ada seseorang pun yang berada di sisinya pada saat itu.

Malamnya, Gombloh benar-benar memenuhi janjinya pada salah seorang perawat itu. Ia benar-benar tampil di layar TVRI Stasiun Pusat, dalam acara Selecta Pop. Bagi Gombloh, acara itu tentu terlambat beberapa jam. Sebab , sekitar tujuh jam sebelum acara itu ditayangkan, ia telah berpulang. Maka acara itu kemudian lebih terasa sebagai pengantar bagi perjalanan terakhir Gombloh. Dalam Selecta Pop itu, almarhum tampil bersama Titi Qadarsih, membawakan lagu terbarunya “Apel”. Sebenarnya, bukanlah Titi yang menjadi backing vocal dari lagu tersebut, melainkan suara Rini Haryono, penyanyi Surabaya yang memang sudah terbiasa menjadi backing vocal lagu-lagu almarhum. Titi cuma memerankan, supaya acara itu kelihatan lebih menarik. Acara itu sendiri sebenarnya hasil rekaman pada hari Selasa siang, empat hari sebelum Gombloh pergi untuk selama-lamanya.

*) Disadur dari buku “Blues untuk Kim“, yang sebelumnya dimuat di Surabaya Post, 12 Januari 1988 dan foto diolah dari berbagai sumber.

*tulisan ini juga bisa diakses di blog milik kawan kami Dhahana Adi: http://ceritasurabaya.blogspot.com

No comments:

Post a Comment