'Sekar Mayang’ adalah lagu Gombloh berbahasa Jawa yang cukup populer. Lagu tersebut tercipta sebagai hasil dari perenungan panjang Gombloh dalam menekuni serat Wedhatama. Serat sastra Jawa lama yang ditulis oleh Mangkunegara IV tersebut di dalamnya terdapat lima bab besar : Pangkur, Sinom, Pucung, Gambuh dan Tembang Kinanthi. Di dalam tiap babnya terdapat pupuh syair-syair panjang sejumlah 100 bait. Lazimnya, pembacaan serat Wedhatama dilakukan dengan cara dilagukan,atau ditembangkan/menembang.
Gombloh menginterpretasikan serat Wedhatama dalam bentuk musik modern yang dibawakannya dengan nuansa rock, penuh hentakan, namun uniknya hentakan itu mampu membawa pendengar nglangut ke dalam nuansa spiritual, sebagaimana usaha penghayatan diri para pembaca Wedhatama yang menembangkan syair-syairnya untuk beroleh kebijaksanaan dan merangkai petuah-petuah hidup. Gombloh dalam lagu 'Sekar Mayang' tidak membawakan seluruh syair Wedhatama yang berjumlah seratus itu, melainkan ia hanya mencuplik pupuh 1 dan 12 saja. Tujuan pencuplikan dua pupuh tersebut selain untuk kepentingan musikalitas, bisa jadi pula dua pupuh tersebut merepresentasikan sisi spiritual Gombloh dalam menyikapi petuah-petuah dari Wedhatama yang paling menarik perhatiannya. Untuk memahami makna menyeluruh dari teks Wedhatama dalam lagu Gombloh sebenarnya tidak cukup sekedar usaha penerjemahan saja, melainkan juga analisa yang panjang-lebar terkait dengan filosofi, hubungannya dengan fungsi referensial bahasa dan sebagainya. Dalam kesempatan ini kami terlebih dahulu mencoba memberikan ulasan tentang kata 'Hong Wilaheng’. ‘Hong Wilaheng’ adalah dua kata yang ditambahkan Gombloh sebagai reffrain lagunya, yang sebenarnya dua kata tersebut tidak tertulis dalam serat Wedhatama.
Sansekerta sebagai bahasa yang memiliki pengaruh cukup kuat dalam membentuk bahasa Jawa saat ini juga tidak ditemukan frasa 'Hong' maupun 'Wilaheng’; namun pemakaian kata Hong Wilaheng sendiri kerap ditemukan dalam doa yang diucapkan oleh para dalang. Dalam uraian Padmosoekotjo (1960), bab ‘mantra dalang’ dituliskan doa 'Hong Ilaheng Awighnam Astu Nama Siddham'. Penulisan itu sangat mirip dengan doa umat Hindu dalam bahasa Sansekerta, 'Om Awighnamastu Namasiddham'; dalam dunia pedalangan di Jawa Barat kita juga mengenal 'Hong Arcanamarya'. Dua frasa ‘Hong’+’Wilaheng’ atau ‘Hong Ilaheng’ telah umum dipakai sebagai pambukaning jagad pakeliran atau kalimat awal yang diucapkan dalang untuk membuka pertunjukan, demi mengajarkan tentang kebaikan; jadi, pemakaian kata 'Hong' dalam bahasa Jawa sebenarnya sudah tidak asing lagi.
Makna kata 'Hong’
Kami telah melakukan banyak diskusi dengan para penggiat sastra Jawa, dan dari diskusi tersebut didapatkan berbagai pendapat tentang makna dan fungsi kata 'Hong' yang dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. 'Hong' merupakan pengucapan lokal dari frasa 'Aum', dari kepercayaan Hindu. Frasa 'Aum' dipakai dalam doa pemujaan kepada Hyang Widhi, yang memiliki makna bahwa dunia seisinya adalah perputaran antara kelahiran, kehidupan dan kematian. Doa dengan menggunakan awalan 'Aum' atau 'Hong’ dapat berarti ucapan doa meminta perlindungan agar dunia dilindungi oleh berkah Hyang Widhi yang berkuasa atas perputaran tersebut;
2. Frasa 'Hong’ digunakan dalam olah samadhi, sebagai vibrasi prana atau olah nafas dengan tujuan untuk menyatu (manunggaling) dengan vibrasi alam, suara semesta; maka dari itu pengucapan frasa ini dalam mengawali olah samadhi diucapkan dengan nada panjang.
Jadi kuat dugaan asal muasal kata 'Hong' berasal dari kata 'Aum' dari bahasa Sansekerta. Kata Aum dalam pelafalannya dibaca 'Om', dan ketika masuk Nusantara, pelafalannya yang dihembuskan dengan awalan helaan nafas menjadi 'Hong’.
Selain dalam pembuka pewayangan, dalam literasi Jawa frasa ‘Hong’ banyak ditemukan, seperti misalnya dalam naskah lama Pustakaraja Purwa (disusun oleh Padmasusastra,1923) yang menyebutkan kalimat Hong wèhên pranawa samêh sebagai doa pembuka naskah, juga naskah Sang Hyang Siksakanda yang menyebutkan kalimat hongkara nama sewaya, sembah hulun di pancatatagata, juga dalam buku Kejawen terbitan Balai Pustaka tahun 1930 juga berkali-kali menyebut frasa 'Hong’, khususnya dipakai sebagai doa, seperti misalnya kalimat Hong buwana langgêng, ulun trima, kita mangèstuti ulun. Tradisi pengucapan 'Hong’ rupanya masih terus berlangsung dan tetap dipakai oleh masyarakat Jawa, khususnya dari aliran kepercayaan, namun kalangan Islam Kejawen sebagai sinkretisme kepercayaan Islam-Jawa, juga tetap memakai frasa 'Hong’, contohnya telah disebutkan sebelumnya, yakni dalam dunia pedalangan yang banyak diantaranya memasukkan unsur-unsur ajaran Islam sebagai sarana dakwah melalui kesenian, namun tetap menggunakan kata awalan 'Hong’ sebagai pambukaning pakeliran..
Makna kata Wilaheng
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa Wilaheng adalah gabungan dua frasa : Illahi+Hyang. Pendapat tersebut berawal dari dugaan dimana banyak penganut kepercayaan atau dalang ketika pambukaning pakeliran kerap menyebut ‘Wilaheng’ dengan menyingkatnya sebagai ‘Ilaheng’ saja; namun pendapat tersebut belum dapat diterima, karena penyebutan 'Illahi' dan 'Hyang' kurang memungkinkan untuk disebut atau digabungkan menjadi satu kata. Seperti kita tahu, 'Illahi' dan 'Hyang' sama-sama merepresentasikan penyebutan Tuhan, dan kami berpendapat bahwa penyebutan dua nama Tuhan kemudian dipadankan menjadi satu kata memang kurang lazim digunakan. Di dalam kamus Sansekerta, kata 'Wilaheng’ juga tidak ditemukan; jadi kuat dugaan bahwa kata 'Wilaheng’ adalah kata asli yang diciptakan oleh masyarakat Jawa.
Filolog UGM, Abhimarda Kurniawan memberikan analisa yang menarik tentang arti kata 'Wilaheng'. Menurutnya, 'Wilaheng’ merupakan frasa yang sebenarnya adalah gabungan dari dua kata, yakni 'Wil' dan 'Aheng'. 'Wil' atau 'Wiwil', atau 'Uwil' adalah sejenis mahluk demonik raksasa sebagai simbol keburukan, sedangkan 'Aheng’ terbentuk dari 'a'+'hyang', yang kemudian pengucapan lokalnya menjadi 'aheng'. Afiks verba 'a’ dalam konteks tersebut menunjukkan proses 'ke arah' atau 'menjadi', atau becoming. Jadi 'Aheng’ atau 'Ahyang' lebih tepat diletakkan pada konteksnya, yakni memiliki arti 'kembali kepada...’.
Di dalam khasanah pernaskahan Jawa lama juga banyak disebutkan kalimat 'manusa aheng', 'pulung aheng', 'buta aheng' dan sebagainya; jadi dapat dikatakan bahwa kata 'Wilaheng’ adalah semacam keyakinan bahwa segala keburukan akan kembali padaNYA, atau disirnakan olehNYA.
Kesimpulan
Pengucapan ‘Hong’ secara fonologi diucapkan dengan menggeser bunyi anusvara melalui labial (bibir), ke arah glotal (tekak) sebagai awalan pembuka yang diucapkan secara panjang, sebagai vibrasi prana, kemudian diikuti dengan kata ‘Wilaheng’, atau kerap dibaca 'Ilaheng' sebagai doa atau keyakinan bahwa segala sesuatu akan kembali padaNYA. Di dalam kitab Purwa Bumi Kamulan, disebutkan pula kata 'Hong Wilaheng’ beserta uraian tentang kosmogoni. Berdasarkan uraian dari kitab tersebut dapat diartikan bahwa mantra 'Hong Wilaheng' memiliki tujuan untuk eksorsisme, penenangan atau ketenangan diri (aswasa) dengan membalikkan proses kosmogoni, bahwasanya alam semesta seisinya ini berasal dari Tuhan atau 'Hyang’, dan semua akan kembali padaNYA. Mantra 'Hong Wilaheng’ dan kitab Purwa Bumi Kamulan sendiri hingga saat ini menjadi pegangan bagi para pandita 'sengguhu' di Bali, pandita di Tengger, serta menjadi pedoman utama bagi para agamawan pada abad 16-17.
Penutup
Dapat dikatakan bahwa Gombloh adalah jenius musik sekaligus pengamat sastra Jawa lama. Dengan berani ia memasukkan kalimat 'Hong Wilaheng’ yang sebenarnya tidak ada dalam keseluruhan naskah Wedhatama yang ia cuplik dalam lagunya. Gombloh bukan semata melengkapi reffrain atau sekedar pemanis saja, melainkan ia mencoba memberi jeda dalam setiap pembacaan bait Wedhatama, bahwasanya ketika memahami segala kebajikan dan ilmu luhur dari teks tersebut, ada kalanya kita harus memberinya jeda, lalu berdoa kepada Hyang Maha Tinggi, Maha Kuasa, demi ketenangan diri, bahwa semua yang ada dalam semesta ini akan kembali padaNYA. ‘Hong Wilaheng' adalah juga sebuah usaha Gombloh untuk memberi sebuah kesimpulan tentang keseluruhan serat Wedhatama. Keluarbiasaan yang tak dapat disamai oleh musisi-musisi atau seniman-seniman pada eranya, bahkan hingga kini. Pemikiran Gombloh melampaui zaman. Ia bukan sekedar penyanyi, melainkan juga seorang filsuf sekaligus sastrawan.
----
Thx to : Abhimarda Kurniawan, Bapak Purwanto Heri, Kang Rda Arvin Halim & kawan-kawan Mogers Indonesia.