Sumprit kecil dan perkenalannya dengan Gombloh
"Prit, mengko nek awakmu wes rabi lan nduwe anak lanang, anakmu gowoen nang aku, mengko tak urukki olah vokal (Prit, nanti kalau kamu sudah menikah dan mempunyai anak laki-laki, bawalah anakmu kepadaku, nanti akan kuajari olah vokal),"
Janji Gombloh itu tak pernah dilupakan oleh seorang Yetty Wijayani. Sayang, janji itu tidak pernah terlaksana karena sang maestro keburu meninggal dunia.
Yetty Wijayani, wanita asli Surabaya itu, di tahun 1981 masihlah seorang gadis yang sedang menempuh pendidikan di SMA Pemuda. Dulu, SMA tersebut terletak di kawasan Balai Pemuda, Surabaya.
SMA Pemuda pada masa itu kegiatan belajar-mengajarnya menggunakan gedung SMA 6, Surabaya. Jadi, kalau pagi digunakan SMA 6, siangnya digunakan oleh SMA Pemuda.
SMA Pemuda pada masa itu kegiatan belajar-mengajarnya menggunakan gedung SMA 6, Surabaya. Jadi, kalau pagi digunakan SMA 6, siangnya digunakan oleh SMA Pemuda.
Sebagai gadis SMA jaman old yang tomboy, Yetty memiliki kegemaran pada kesenian, utamanya musik. Ia sangat menggemari Gombloh dan lagu-lagunya.
Mengingat sekolahnya yang terletak di sekitar gedung Balai Pemuda dan reputasi gedung tersebut sebagai base camp-nya para seniman ngetop se-Surabaya, maka tidak heran jika sepulang sekolah Yetty selalu menyempatkan diri untuk mampir ke Balai Pemuda, sekedar bertemu Gombloh dan musisi-musisi idolanya seperti Vicky Vendi, Frangky Sahilatua dsb.
Yetty lain dari teman-teman perempuan sebayanya ketika itu. Jika anak perempuan lainnya terlihat malu-malu sambil setengah jaim, Yetty tampil paling berani. Ia tidak segan mendekati idolanya dan mengajaknya berbincang-bincang. Tak heran, seniman-seniman Balai Pemuda, termasuk Gombloh, menjadi sangat akrab dengan Yetty.
"Lho mrene maneh arek iki. Koen gak mbolos kan? Nek mbolos tak laporno gurumu (lho, anak ini kesini lagi. Kamu tidak bolos, kan? Kalau kamu bolos akan kulaporkan gurumu)!," Ujar Gombloh ketika melihat Yetty datang.
"Gak cak. Iki wayahe prei (Enggak, cak, ini memang waktunya libur). Sumpah ," tukas Yetty
"Prei apane? Wong gak tanggal abang kok prei! Ojok mbujuk koen (libur apanya? Orang ini bukan tanggal merah kok kamu bilang libur! Jangan bohong kamu),!"
"Gurunya rapat, cak. Sumprit (sumprit adalah plesetan kata sumpah),!" Jawab Yetty.
"Buaahahahaha...yowes mulai hari ini sampai selamanya kamu tak panggil sumprit!" Ucap Gombloh sambil tertawa.
Walhasil, nama Sumprit disematkan oleh Gombloh sebagai nama panggilan seorang gadis remaja yang bernama asli Yetty Wijayani tersebut.
Kumal tapi Wangi dan Tak Pernah Bawa Dompet
"Ayo melu aku, Prit. Tak ajak mlaku-mlaku (ayo ikut aku, Prit. Kuajak jalan-jalan)," ucap Gombloh kepada Yetty pada suatu siang.
Mobil Gombloh ketika itu adalah Jeep CJ-7. Mobil yang tetap tampak besar dan gagah walaupun dikemudikan oleh supir yang kurus kering. Dengan mobil itulah Gombloh kerap mengajak Yetty jalan-jalan.
"Saya masih ingat, dalam Jeep CJ-7 itu penuh barang-barang bawaan Gombloh. Kekhasannya, Gombloh selalu membawa makanan & minuman yang ditaruhnya di bagian belakang mobil,".
Lantas, mengapa Gombloh tetap kurus walaupun membawa bekal banyak?
"Ya jelas tetap kurus. Walaupun bawa makanan, tapi dia sering lupa makan. Seringnya, kawan-kawan Cak Gombloh yang setiap hari sibuk menghabiskannya," ujar Yetty.
Pakaian yang dikenakan Gombloh adalah kaos oblong dengan jaket & celana jeans belel serta topi dan kacamata hitam. Sekilas, seperti orang lusuh dan kumal yang tidak pernah mandi; tetapi jangan salah, Gombloh selalu wangi.
"Cak Gombloh sangat memperhatikan soal parfum. Dia banyak menyimpan koleksi parfum di rumahnya. Jangan heran, walaupun kelihatannya tampak seperti wong gak tau adus (orang tidak pernah mandi), tapi Gombloh selalu wangi," kenang Yetty.
Selain wangi, mobil jeep dan makanan, Gombloh punya kesukaan tersendiri soal rokok. Sang maestro tidak pernah membeli rokok kemasan, namun lebih suka rokok lintingan; jadi Gombloh selalu membawa sebungkus besar tembakau dan kertas rokok, dan ia melinting rokoknya sendiri. Gombloh adalah perokok berat yang sayangnya tak mengimbanginya dengan pola hidup sehat, makanya beliau selalu bermasalah dengan kesehatannya.
Satu lagi, Gombloh tidak pernah membawa dompet.
"Prit, tukokno kopi nang warung sebelah (Prit, belikan kopi di warung sebelah)," kata Gombloh sambil merogoh sakunya yang sempit tapi terlihat menggelembung.
Ketika mengeluarkan jarinya dari saku, brul! Uangnya dalam saku yang lungset dan tidak ditata dengan rapi itu ikut keluar dan berjatuhan di lantai.
"Ya ampun cak! mbok ya bawa dompet biar uangnya nggak lungset dan tercecer seperti itu!," tukas Yetty.
"Koyok arek wedok ae katek nggowo dompet (seperti anak perempuan saja pakai bawa dompet)!"
Begitulah Gombloh yang unik bin aneh itu. Uang hasil kerjanya, berapapun jumlahnya, selalu dilipat sekenanya dan disimpan dalam saku celana jeansnya.
Mengepang Rambut Gombloh dan Saat Terakhir bersamanya
"Prit, reneo, nduk (Prit, kesinilah, nak)!" Kata Gombloh memanggil Yetty, suatu sore di Balai Pemuda.
Ketika Yetty menghampiri Gombloh dan duduk disebelahnya, Gombloh malah berbalik badan, memunggungi Yetty.
"Karepe yoopo iki cak? Kate njaluk kerokan ta (maunya apa ini cak? Apa mau minta kerokan)?," Tanya Yetty.
"Enggak. Ini rambut panjangku enaknya diapakan?" Tanya Gombloh.
"Dikelabang aja beres!"
"Idemu apik! Lakukan!"
Sore itu Yetty mengelabang (mengepang) rambut Gombloh. Rambut pria kelahiran Jombang itu dikepang satu, kemudian semakin trendy dengan topi khasnya.
Rupanya Gombloh suka dengan gaya kepang kreasi Sumprit itu dan setiap kali menjelang tampil, ia selalu meminta bantuan Yetty untuk mengepang
rambutnya.
rambutnya.
Sampai pada suatu pagi, Gombloh kembali memanggil Yetty untuk mengepang rambutnya. Hari itu ia rencananya akan perform di TVRI bareng Titi Qadarsih.
"Prit, kelabangen maneh rambutku (Prit, kepang lagi rambutku)!" Ujar Gombloh.
"Kene tak kelabangno, cak. Katene tampil nangdi rek (Sini saya kepang, cak. Mau tampil dimana)?"
"Nang TVRI karo Titi Qadarsih. Awakmu kudu melu (tampil di TVRI bareng Titi Qadarsih. Kamu harus ikut)!"
"Waduh cak, sepurane, aku sepisan iki gak isok melok, soale onok acara karo konco-konco sekolah nang Jawa Tengah (waduh maaf cak, kali ini aku tidak bisa ikut. Ada acara bersama teman-temanku di Jawa Tengah)."
"Lhoalah..rekreasi ta? Waduh, aku kapan rekreasine yo? Gak tau rekreasi, rek. Bekne mari perform iki aku isok budal rekreasi nang panggon sing apik! (Lhoalah..rekreasi ya? Waduh, aku kapan bisa rekreasi ya? Aku nggak pernah rekreasi. Barangkali setelah perform ini aku bisa pergi rekreasi ke tempat yang bagus)," ujar Gombloh.
Tak disangka, kata-kata Gombloh itu menjadi firasat kepergiannya, sebab, penampilan di TVRI bersama Titi Qadarsih itu adalah penampilan terakhirnya sebelum Gombloh meninggal dunia.
Ketika itu Yetty tidak menyadari bahwa pagi itu adalah saat dimana ia terakhir kalinya bertemu dan berbincang-bincang dengan Gombloh.
Selama beberapa hari di Jawa Tengah, Yetty mendengar kabar dari televisi jika musisi idolanya itu telah meninggal dunia. Air matapun menetes dari kedua matanya. Momen rekreasi yang harusnya diisi kegembiraan, malah berujung pada kesedihan. Bagaimana tidak, idola sekaligus sosok yang ia anggap sebagai sahabat, dan seringkali tampil sebagai sosok ayah itu tidak bisa lagi ditemuinya.
"Saya tidak pernah absen ikut Cak Gombloh untuk tampil di berbagai acara; namun, justru pada saat terakhir saya malah tidak bisa menemaninya," kenangnya.
"Padahal Gombloh juga pernah bilang akan menunggu saya sampai menikah dan ketika saya punya anak, anak saya bakal diajari olah vokal," tambahnya.
Sosok Gombloh yang dikenang oleh Yetty sampai hari ini adalah sosok yang bersahaja, sederhana, juga apa adanya. Ia bukan artis dengan kehidupan glamour, melainkan seniman yang bergaul akrab tak pandang siapa. Berteman dengan tukang becak, pemulung, anak-anak sekolah, pengamen, sampai memberi sejumlah gajinya demi memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka yang terlantar, bahkan pekerja seks komersial ditolongnya juga.
"Sampai saat ini ketika mendengar lagu-lagu Cak Gombloh, saya jadi ingat kebaikannya, juga sifat ngeyelnya jika dinasehati tentang kesehatannya. Saya juga ingat gigi ompongnya, tiga buah topi yang pernah diberikannya kepada saya, juga hingga hari ini saya masih dapat merasakan rambutnya yang pernah saya kepang dengan jari saya ini. Tidak pernah saya temui lagi orang seperti Cak Gombloh. Dia orang baik. Saya berani Sumprit," pungkasnya sambil tersenyum mengenang nama 'Sumprit', nama panggilan kesayangannya yang diberikan oleh Gombloh sendiri.
Sidoarjo, 5 Mei 2018
Dimas SEKARING JAGAD.
Dimas SEKARING JAGAD.
No comments:
Post a Comment