Tuesday, May 3, 2016

Mengenang Gombloh ala Cak Gatot

Lereng Gunung Semeru: Antara Kehangatan dan Kebersamaan

Awalnya, seorang musisi senior Surabaya, Priyatna -kami memanggilnya 'Pak Pri'-, memberi pesan singkat di whatsapp: "Secara pribadi aku nggak kenal Gombloh, tapi aku berkawan dekat dengan Cak Gatot Yuwono. Beliau gitaris pertama Gombloh dan merupakan gitaris blues yang ilmu bluesnya itulah yang telah kuturunkan pada kalian semua. Dulu kami tetanggaan di daerah Kebraon, Surabaya. Anakku sering kutitipkan disana waktu kecil. Kalau mau sowan (berkunjung), datang aja ke resepsi putrinya besok di Malang".

Cak Gatot (tengah)
Pak Pri adalah gitaris sepuh Surabaya yang dianggap sebagai guru besar. Beliau memiliki puluhan murid, diantaranya adalah Tatok dan Sahtanta Eka Cibi, yang keduanya adalah gitaris Sekaring Jagad. Ratusan murid lainnya tersebar di seluruh daerah. Di media sosial, murid-murid Pak Pri membentuk komunitas melalui grup facebook, whatsapp, line dan bbm bernama 'Paguyuban Murid Priyatna'. Pak Pri mengetahui jika kedua muridnya, Tatok dan Sahtanta Cibi tergabung dalam Sekaring Jagad, band yang mengkhususkan diri membawakan lagu-lagu Gombloh di setiap penampilannya. Maka dari itu beliau berinisiatif mempertemukan kami dengan Cak Gatot yang merupakan mantan gitaris Gombloh. 

Sabtu, 16 Mei 2016 pukul 16.00 WIB, saya dan Tatok berangkat menuju Malang. Berdua saja. Beruntunglah hari sedang cerah, jalan juga tidak macet. Kami melewati Sidoarjo, Pandaan, Pasuruan, begitu lancar dan tidak ada halangan berarti. Kami hanya sempat beristirahat di sebuah masjid di daerah Lawang sembari menyeruput segelas es tebu. 15 menit kami melanjutkan perjalanan, dari Lawang melewati Singosari, hingga sampailah kami di kota Malang. Sampai di Malang, kami terus bergerak ke arah timur, arah Cemorokandang, sebuah daerah yang terletak di lereng gunung Semeru. Daerah Cemorokandang yang kami lewati udaranya cukup sejuk. Ketika itu jarum jam menunjukkan pukul 20.00 WIB. Petunjuk alamatnya adalah kompleks perumahan Villa Gunung Buring di daerah Cemorokandang. Sudah puluhan orang kami tanyai, tapi nyatanya kami tetap kesasar juga hingga hampir menuju kawasan hutan dan jurang. Kami kesasar cukup jauh dan harus putar balik. Sekitar 10 kilometer kami menempuh jalan balik hingga menemukan kompleks perumahan yang dimaksud. 

Masuk ke kompleks perumahan, gang rumah Cak Gatot berada di paling ujung. Kami masuk ke gang rumahnya dan menemukan terop pernikahan. Ketika masuk, mata dan hidung kami tertuju pertama kali kepada mangkuk-mangkuk gulai kaki kambing yang aroma lezatnya begitu menggoda. Lalu tak lama kemudian kami disambut oleh seorang wanita sepuh yang ternyata istri dari Cak Gatot. 

"Oh ini tamu-tamu dari Surabaya yang kenalannya Pak Pri itu ya? Monggo, silahkan, Bapak ada di dalam". Begitu beliau mempersilahkan.

Kamipun masuk ke dalam halaman rumahnya. Di deretan kursi lipat, di pojokkan duduk seorang sepuh yang menggenggam sebuah tongkat di tangan kirinya. Dengan ramah bergaya khas Arek Suroboyo, orang itu berujar, "Lhoalah iki ta Muride Pri. Ayo lungguh kene mas, lungguh jejerku karo-karo! (Oo ini muridnya Pri, ayo duduk sini, mas, bersebelahan denganku)".

Sosok itu adalah Cak Gatot Yuwono. Beliau memperkenalkan diri dengan ramah. Tampak, ketika berbicara kadang-kadang tangan beliau bergetar. Untuk beranjak saja beliau kesulitan. Ternyata, beliau mengatakan pada kami kalau beliau habis sembuh dari stroke. Cak Gatot cukup periang. Ia selalu senang jika ada tamu dan mengajaknya ngobrol. Semangatnya akan tambah menggebu-nggebu ketika diajak bicara soal musik, apalagi soal Gombloh.  

"Oh iya, saya dengar dari mas Pri kalau hari ini datang dua orang musisi yang suka membawakan lagu-lagu Gombloh. Rupanya mereka adalah sampean berdua.. Iya, betul kata mas Pri, saya pernah mengikuti proses kreatif Gombloh dan menggarap, kalau tidak salah, sekitar 4 album".
Lalu kemudian Cak Gatot bercerita jika Pak Pri juga sempat belajar pada beliau soal musik, terutama blues. Tatokpun menyahuti, "Iya betul Cak, Pak Pri pernah bilang pada saya kalau beliau pernah belajar di Cak Gatot. Lha Pak Pri itu guru saya, jadi hitungannya Cak Gatot ini termasuk kakek guru saya," canda Tatok. Kamipun tertawa bersama.

Rasa penasaran kami terhadap sosok Cak Gatot rupanya tak berlangsung lama. Beliau membuka diri tentang siapa sosoknya. Rupanya, Cak Gatot adalah seorang pekerja seni yang mendedikasikan diri sepenuhnya pada musik. Sebelum bermain dengan Gombloh, ia tergabung dalam grup musik Avanti, yang diantara personilnya adalah (alm) Inisisiri, drummer Kantata Takwa, dan Niki Kosasih, vokalisnya yang juga penggiat teater serta pernah terlibat dalam produksi film 'Saur Sepuh', yang terkenal pada dekade 90'an. Band Avanti waktu itu kerap bermain di kafe-kafe, pub dan hotel-hotel ternama di Indonesia. Setelah keluar dari Lemon Trees, Cak Gatot melanjutkan eksistensi Avanti sebagai home band di berbagai tempat. Beliaupun sempat pula merantau ke Bali selama beberapa tahun dan bermain musik disana.

"Saya juga pernah membentuk BBC Band yang di dalamnya ada personil-personil seperti Soelih dan Bambang John. Tau Soelih, kan? Beliau vokalis Gombloh. Beliau itu juga pernah bikin album duet bareng Bambang John. Namanya duet 'John Soelih', jauh lebih dulu terkenal, dan mungkin album duet pertama sebelum munculnya duet fenomenal 'Frangky and Jane'," ujar Cak Gatot, yang kini, piringan hitam BBC Band yang berjudul 'Cipta Manusia', tersimpan rapi di Galeri Musik Malang. Selain itu, beliau juga pernah berproses menggarap album bareng Naniel Yakin, pemain alat musik tiup di Kantata Takwa, yang mana beliau juga pernah bergabung dengan Gombloh di Lemon Tree's Anno '69.

"Saya itu sejak kecil selalu berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Maklum, ayah saya profesinya tentara yang sering ditugaskan di berbagai tempat di Indonesia. Jadi masa kecil saya, saya lalui di Sidoarjo, tepatnya di daerah Ngelom, Geluran, Sepanjang, sampai kelas dua SD. Kemudian pindah di Makassar. Ketika menginjak bangku SMA, saya kembali ke Surabaya. Setelah lulus, saya kuliah di Akademi Pendidikan Tekhnologi Negeri (APTN), di Jalan Ngaglik, Surabaya. Lalu kemudian drop out..yah, saya lebih fokus bermusik, sama seperti Gombloh yang drop out dari ITS, hahaha...", kenang gitaris yang menyukai permainan gitar Mr.335 alias Larry Carlton.

"Hei, obrolannya dilanjut nanti. Ayo kalian makan dulu,". Kamipun dipersilahkan untuk menyantap hidangan. Hari itu sebenarnya bertepatan dengan resepsi pernikahan putri Pak Gatot. Acaranya siang hari, sedangkan kami datang malam. Walhasil, semangkuk besar gulai kaki kambing yang sudah menangkap mata kami sejak tadi, kami nikmati berdua saja. Saat asyik makan, Cak Gatot dengan ponselnya kemudian menunjukkan pada kami lagu-lagu dan aransemen-aransemen gitar yang disukainya. Setelah itu, gantian kami yang menunjukkan padanya lagu-lagu Gombloh yang kami aransemen kembali lewat band kami Sekaring Jagad. Beliau mengangguk-angguk dan cukup senang katanya, melihat anak-anak muda yang membawakan kembali lagu-lagu Gombloh yang dimasa kini karya-karya Gombloh perlahan-lahan mulai dilupakan. Di tengah dinginnya lereng gunung semeru, persahabatan diantara kami bak nyala api unggun. Kehangatan menyeruak. hawa yang menusuk tulang sirna, juga lelah sepanjang perjalanan.

Imajinasi Melampaui Batas

Seusai makan, kamipun kembali duduk bersama Cak Gatot. Perbincanganpun kembali menghangat. Apalagi, Cak Gatot bercerita mengenang masa-masa indahnya bersama Gombloh.
"Awalnya, Gombloh yang punya banyak kawan itu bercerita kalau dia punya lagu-lagu ciptaan sendiri. Lalu dia berinisiatif mengajak saya dan kawan-kawan lain untuk bermusik. Setelah menjalani beberapa kali latihan, dipilihlah personil-personil yang dirasa cocok dengan karakternya. Sudah beberapa kali bongkar-pasang player karena banyak pula yang nggak sesuai dengan lagu-lagu ciptaan Gombloh yang nggak umum, yang berat", ujarnya.

Dikatakan Cak Gatot, Gombloh memiliki idealisme yang khas, juga imajinasi yang tidak berlebihan jika dikatakan melampaui imajinasi manusia pada zamannya. "Bayangkan, ketika musik didominasi oleh lagu-lagu yang mendayu-dayu, juga trend bangkitnya musik rock 80an, Gombloh tampil dengan musik folk blues sekaligus dengan kenyelenehan lirik-liriknya. Saya kira nggak ada yang segila Gombloh dengan lagu ciptaannya yang berat ketika itu. Pernah dengar 'Dimensi Antar Ruang', 'Nadia dan Atmosphere', juga '1.000.000 tahun Sesudah Masehi'? Coba dengar, liriknya berat lho itu!".

Dalam lirik '1.000.000 Tahun Sesudah Masehi', Cak Gatot sempat menyaksikan proses penciptaannya. Ketika Gombloh menawarkan lagu tersebut, dikatakan oleh Gombloh, bahwa sederhananya, lagu itu bercerita tentang kondisi bumi pada tahun sejuta masehi. Sudah tidak ada lagi keasrian, kesejukan. Tinggal hanya gersang, kering, panas dan tanpa kehidupan. 

"Lalu ada juga lagu ciptaan Gombloh berjudul 'Tetralogi Fallot'. Lagu itu dinyanyikan oleh adiknya Gombloh, juga kalau nggak salah duet dengan Soelih. Liriknyapun berat. Ketika saya bertanya, 'Mbloh, iki lagu nyeritakno opo seh sakjane (Mbloh, ini lagu sebenarnya bercerita tentang apa?'; dengan enteng Gombloh menjawab, 'Gampangane, iki lagu nyeritakno penyakit. Wes ngono ae (Gampangnya, ini lagu tentang penyakit, udah gitu aja),' katanya". Menurut Cak Gatot, nyatanya, lagu itu lebih banyak berbicara tentang kritik Gombloh tentang ketimpangan sosial, yang inspirasinya terilhami oleh adiknya yang seorang dokter. "Itulah luar biasanya Gombloh. Apa saja dapat menjadi inspirasinya. Awalnya Tetralogi Fallot itu inspirasinya berasal dari adiknya yang kerja jadi dokter. Dokter kan hubungannya dengan penyakit. Lha Gombloh akhirnya bikin lagu yang awalnya tentang penyakit, kemudian diberi bumbu-bumbu, jadilah sebuah lagu yang berubah menjadi sasaran kritik terhadap kondisi sosial Indonesia," terang Cak Gatot.

Lebih lanjut, Cak Gatot bercerita jika Gombloh memiliki niat membuat sebuah lagu yang hingga kini tidak kesampaian. Ceritanya, Gombloh pada suatu ketika tertarik dengan kebiasaan anak-anak muda kota Surabaya, yaitu mengadu burung dara. Istilah Jawanya 'ngetren doro'. Hingga pada suatu siang, saat Gombloh datang ke studio rekaman, ia saat itu terlihat termenung. "Lapo mbloh? (Kenapa Mboh?)", tanya Cak Gatot. "Aku mari oleh inspirasi. Kapan-kapan aku kudu nggae lagu sing nyeritakno bab ngetren doro (Aku habis dapat inspirasi. Kapan-kapan aku harus membuat lagu yang menceritakan tentang kebiasaan adu burung dara)" kata Gombloh. 

Sayang disayang, lagu itu tidak sempat terealisasi sampai saat Gombloh meninggal dunia.
"Begitulah awalnya, hingga kemudian Gombloh akhirnya memiliki ide untuk mengajukan band kami di perusahaan rekaman Golden Hand, yang waktu itu lokasinya di dekat THR, Surabaya," tuturnya.

Sempat dikira Pelawak Srimulat
Ada cerita lucu ketika pertama kali Gombloh mendatangi lokasi studio Golden Hand. Gombloh yang penampilannya semrawut, kurus kering serta berambut gondrong, sempat disangka pelawak Srimulat oleh pihak security studio Golden Hand.

"Jadi para security itu nggak percaya kalau Gombloh itu musisi yang mau menawarkan lagunya ke Golden Hand. Bahkan, security itu mengira kalau Gombloh adalah seorang pelawak Srimulat. Kan kebetulan gedung Srimulat ada di THR, dekat lokasi studio Golden Hand. Lha kata mereka lagi, wajahnya Gombloh nggak ada perawakan musisinya sama sekali..Malah lebih terlihat seperti pelawak..hahaha..kurang ajar memang," ujar Cak Gatot sembari tertawa lepas.

Pihak studio rekaman Golden Hand waktu itu menyuruh Gombloh untuk menunjukkan lagu-lagunya. Tak berapa lama kemudian, Golden Hand setuju untuk memproduksi lagu-lagu karya musisi kelahiran Jombang itu. "Sebenarnya Golden Hand agak ragu ketika mendengar lagu-lagu yang berat dan penuh dengan makna yang satu-dua diantaranya susah dicerna itu. Namun, di sisi lain, Golden Hand melihat Gombloh yang begitu berkarakter, mulai dari warna suaranya yang khas, lirik-lirik lagunya yang unik dan cenderung sastrawi, hingga pada rasa nasionalismenya. Di era itu, belum banyak band-band yang mengusung tema cinta tanah air. Dan tentu saja, agar Golden Hand bisa dapat pemasukan dari penjualan album-album Gombloh, maka di setiap album Gombloh, perlu disisipkan satu-dua lagu yang ringan, yang sesuai dengan selera pasar. Gomblohpun menyetujuinya, dan, dari situlah karir keartisan Gombloh semakin melambung," ungkap Cak Gatot.

Melebur bersama Semua Kalangan

Setelah dikontrak Golden Hand dan sudah tenar sebagai artis, Gombloh tetaplah Gombloh yang sederhana. Beliau tidak terlena dengan gaya hidup artis yang glamour. Seorang Gombloh tidak mau tinggal di ibukota, melainkan memutuskan untuk tetap tinggal di Surabaya dan kerap kali tidur di mabes Bengkel Muda yang terletak di dalam kompleks Balai Pemuda, Surabaya. Kebiasaan begadang dan lupa makan adalah cerminan keseharian Gombloh. Selain itu, ia juga kerap mengunjungi masyarakat-masyarakat di kampung-kampung kumuh, bergaul dengan para tukang becak dan orang-orang pinggiran. Bahkan, Gombloh akrab dengan penghuni-penghuni lokalisasi prostitusi di Surabaya. Bukan untuk wisata seks, melainkan menjadikan orang-orang penghuni lokalisasi itu sebagai teman, membantunya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga mereka, sekaligus sebagai sumber inspirasi.

"Itulah mengapa setiap kali dapat bayaran dari hasil manggung, Gombloh selalu memanggil kawan-kawannya yang jumlahnya bejibun. Kalau ngumpul bisa sampai 100 orang dan dia mengajak mereka ke sebuah warung makan. Mereka semua ditraktirnya makan," kata Cak Gatot.

"Oleh karena itu jika habis manggung, istilahnya Gombloh itu jadi orang kaya sesaat. Besoknya, setelah bayaran manggung habis, dia kembali ngutang duit dan minta rokok sama temannya..hahaha..," lanjut Cak Gatot. Beliau tertawa saat menceritakan gaya kesenimanan sang Maestro, dan dari situlah Cak Gatot melihat kesederhanaan dan meleburnya Gombloh bersama orang-orang dari semua kalangan.

Pencipta Lagu Ulung

Selain akrabnya Gombloh dengan kawan-kawan serta masyarakat, Gombloh dikenal sebagai pencipta lagu ulung. Cak Gatot berkisah, pernah suatu kali Gombloh di-deadline oleh produser Golden Hand untuk menyetor lagu-lagunya. Beberapa hari mendekati hari deadline, Gombloh terlihat santai keluar masuk studio Golden Hand. Kerjaannya hanya latihan bersama band, mengulang  lagu-lagu yang sudah jadi, setelah itu duduk-duduk santai, minum kopi di ruang tamu dan seringkali numpang tidur disana. Produser Golden Hand, Pak Koing namanya, lama-lama menjadi geram. Ia bertanya pada Gombloh, "Mbloh, endi lagumu? Ojok sampek telat koen (Mbloh, mana lagumu? Jangan sampai telat kamu)!" Kata Pak Koing. Mendengar itu, Gombloh yang sedang tidur-tiduran menjawab santai, "Yo ngkok tak gawekno telong lagu pak. Aku tak turu disik. Ngantuk (Ya nanti saya buatkan tiga lagu pak. Saya mau tidur dulu. Ngantuk)," ujar Gombloh yang tidak lama kemudian tertidur lelap.

Rupanya, Pak Koing, produser Golden Hand yang juga pengusaha alat-alat musik itu menunggui Gombloh yang sedang pulas. Cukup lama sampai Gombloh terbangun. Setelah tahu Gombloh mulai membuka mata, kembali Pak Koing menagih janji Gombloh, "Uwes enak turumu? Nek wes enak, ndang mlebuo studio trus nggaweo telung lagu (sudah enak tidurmu? Kalau sudah enak, segeralah masuk studio dan bikinlah tiga lagu)!,".

"Iyo-iyo Pak," ucap Gombloh dengan sedikit sebal. Beliau kemudian mulai masuk studio dan genjrang-genjreng seorang diri dengan gitarnya. Selang 2 jam kemudian, Gombloh memanggil Pak Koing masuk. Di dalam, rupanya Gombloh menunjukkan 3 lagu barunya yang ternyata sudah jadi dalam 2 jam. Setelah puas berbincang-bincang dan berdiskusi, Gombloh dan Pak Koing keluar studio. Diluar studio, kawan-kawan band seperti Cak Gatot dan keyboardis Wisnu terlihat santai sambil ngopi dan makan cemilan. Mereka tertawa melihat Pak Koing yang keluar studio sembari terheran-heran melihat kemampuan Gombloh menciptakan banyak lagu dalam hitungan jam. 

"Pak Koing, sakdurunge sampean lak wes tak kandani, nyiptakno lagu iku perkoro gampang gae Gombloh. Sampean tenang ae Pak, cukup lungguh sing anteng karo ngopi (Pak Koing, sebelumnya anda kan sudah saya beritahu, urusan menciptakan lagu itu perkara mudah buat Gombloh. Anda tenang saja Pak, cukup duduk yang nyaman sambil ngopi),"  ucap Cak Gatot kepada Pak Koing waktu itu sembari tertawa.

"Lha iki batas waktune wes cedek. Lak yo ngelu aku nek sampek gak mari. Yowes sesuk maneh, nek Gombloh mrene tak kongkone turu ae. Nek wes melek, tak kongkone nggae lagu. Ketokke nek pengen nyiptakno lagu, arek iki (Gombloh) kudu turu disik (Lha ini deadline sudah dekat. Kan aku pusing kalau sampai (lagunya) nggak selesai. Ya sudah, besok lagi kalau Gombloh kesini, aku suruh tidur saja. Kalau sudah bangun, aku suruh bikin lagu. Kelihatannya kalau pengen menciptakan lagu, anak ini (Gombloh, maksudnya) harus tidur dulu)," jawab Pak Koing waktu itu. Semuanya larut dalam tawa. Tidak halnya dengan Gombloh, ia kembali tidur.

Gaya Kesenimanan yang Susah Diikuti

Salah satu alasan Cak Gatot memutuskan keluar dari Lemon Trees, adalah karena beliau tidak mampu mengikuti gaya kesenimanan sang maestro. Mulai dari latihan yang tidak terjadwal, begadang, kebiasaan Gombloh yang suka berpetualang dari satu tempat ke tempat lain, membuat segala yang telah direncanakan jadi batal.

"Terus terang saya sulit mengikuti gaya Gombloh. Misalnya, kalau besok sudah ada janji latian, atau sesi wawancara, Gombloh tiba-tiba menghilang entah kemana. Beberapa hari kemudian dengan klewas-klewes, Gombloh datang dan bilang kalau dia habis jalan-jalan, refreshing katanya. Aneh kan? Masa refreshing harus bolak-balik? Kalau tidak refreshing, seringkali alasannya ia sedang beranjangsana ke rumah kawan-kawannya. Semua orang tahu, kalau kawan Gombloh itu ada beratus-ratus orang. Kalau mau dianjangsanai satu persatu, ya bisa setahun nggak selesai-selesai. Sementara sebagai sebuah band, kami harus sering ketemu, diskusi dan latihan. Waktu itu, kemampuan saya untuk mengikuti gaya kesenimanan Gombloh pada akhirnya mencapai batasnya. Saya tidak mampu, dan akhirnya memutuskan untuk berhenti," kenang Cak Gatot.

Waktu itu Cak Gatot mengutarakan keputusannya untuk berhenti dari Lemon Tree's. Gomblohpun dengan berat hati mengiyakan. Tapi itu bukan berarti berakhirnya hubungan pertemanan. Mereka berdua tetap saling mengunjungi dan bertemu dengan akrab di Golden Hand. Waktu itu, posisi Cak Gatot digantikan oleh Cak Pardi. Tidak lama kemudian, Gombloh dan Lemon Trees berpindah produser. Mereka bergabung di Nirwana Record. Cak Pardi sebagai gitaris baru memulai merekam lagu-lagu baru disana, sekaligus mendaur-ulang lagu-lagu lama yang sebelumnya direkam dengan Cak Gatot. 

Cak Pardi (empat dari kanan)
Rupanya, produser baru mereka di Nirwana Record memberi pesan pada Gombloh dan Cak Pardi untuk tidak menghilangkan atau merubah tematik-tematik melodi lagu-lagu sebelumnya yang telah dikreasi oleh Cak Gatot. Walhasil, Cak Pardipun banyak berdiskusi dengan Cak Gatot soal kreasi gitar pada lagu-lagu Gombloh.

"Termasuk tematik melodi pada lagu Kebyar-Kebyar. Itu kreasi saya yang dikembangkan oleh Cak Pardi menjadi lebih rapi dan lebih bernuansa. Cak Pardi hingga kini sering kontak-kontakan dengan saya. Cak Pardi itu gitaris hebat yang permainannya berkarakter, sehingga dapat lebih menghidupkan atau memberi 'nyawa' pada lagu-lagu Gombloh," tutur Cak Gatot.

Di sela perbincangan, saya menyempatkan diri untuk menelepon Cak Pardi.
Panggilan saya dijawab olehnya dan beliau tampak senang ketika mengetahui kami sedang bersama Cak Gatot.

"Memang Cak Gatot itu gitaris Gombloh sebelum saya. Wah, lama juga saya tidak bertemu dengan beliau. Tolong sampaikan salam saya buat Cak Gatot. Dia itu gitaris yang juga menginspirasi permainan gitar saya. Ah, kapan-kapan nanti jika ada waktu saya ingin bertandang ke rumahnya.. salam saja semoga Cak Gatot sehat selalu," pungkas Cak Pardi via telepon.

Akhir Perjumpaan dengan Kakek Guru sekaligus Kakak Kelas

"Saya dulu itu setelah lulus SMP, saya melanjutkan sekolah di SMA Putra Wijaya, daerah Kodam, Jl.Brawijaya. Dari situ saya, selain musik juga tertarik menggeluti ilmu elektro, dan..."

"SMA Putra Wijaya? Kodam? Persit itu Cak?," potong Tatok yang tiba-tiba dihinggapi rasa penasaran ketika Cak Gatot bercerita tentang pengalaman semasa sekolah dulu.

"Iya, saya lulus tahun 1969," tambahnya.

Tatok terlihat kaget. Sontak, ia mengatakan, "Lho Cak, saya juga lulusan situ. Dulu memang namanya SMA Putra Wijaya, sekarang diubah jadi SMA Kartika. Saya lulus tahun 1990..wah, salaman dulu, Cak! Kita sealmamater!," ujar Tatok sembari mengulurkan tangannya.

"Wah, saya ternyata kakak kelas sampean terpaut 21 tahun," ujar Cak Gatot sambil tersenyum dan menyambut uluran tangan Tatok.

Pertemuan malam itu sungguh luar biasa bagi kami. Terlebih Tatok, karena selain dapat bertemu dengan gitaris Gombloh yang punya banyak cerita, yang juga guru dari guru gitarnya (Pak Pri), yang ternyata juga sealmamater dengan Tatok. Terlihat dari raut wajahnya, Tatok begitu berbunga-bunga. Jarang sekali ia menemui kawan sealmamaternya yang jadi musisi seperti Cak Gatot. "Keren!!," katanya berulang-ulang. 

Perlahan bulan sabit diatas langit semakin meruncing. Pembicaraan kami telah mengasahnya hingga tampak begitu tajam. Malam dan hawa dingin Semeru benar-benar larut dalam sepanjang perbincangan. Kamipun tersadar. Cak Gatot yang baru pulih dari sakitnya juga butuh istirahat. Terlebih, hari itu pastilah hari yang sangat melelahkan bagi Cak Gatot, sebab sedari pagi ia sibuk dengan pesta pernikahan putrinya. Kamipun meminta maaf karena telah mengajaknya ngobrol sampai larut malam sembari berpamitan.

"Wah, saya ini justru senang kalau ada yang ngajak ngobrol soal musik. Sampai pagipun saya ladeni. Karena hiburan saya sekarang ya sebatas mendengarkan musik dan ngobrol bersama para kawan tentang musik. Apalagi coba? Gitar saya sudah terjual semua karena biaya pengobatan saya sekaligus mempersiapkan acara pernikahan putri saya ini. Praktis, setelah kena stroke, saya berhenti bermain gitar. Makanya saya senang kalau ada yang ngajak ngobrol soal musik," ujar gitaris yang juga guru dari ex gitaris Boomerang, John Paul Ivan tersebut.

Sungguh luar biasa sosok Cak Gatot. Kamipun bersalaman, kemudian kami berdua mulai melangkah menuju parkiran. Cak Gatot mengiringi kami sampai halaman rumahnya. Dan belum 100 meter kami melangkah, Tatok tiba-tiba berbalik. Ia lari-lari kecil kearah Cak Gatot.

"Kita salaman lagi ya Cak..kan kita sealmamater, hehehe," ujar Tatok sembari mengulurkan tangannya. Cak Gatot menyambutnya sembari tertawa. Terhitung semenjak datang hingga pulang, sudah 4 kali Tatok bersalaman dengan Cak Gatot. 

Setelah puas bersalaman, kamipun berjalan kembali ke arah parkiran motor. Dari jauh Cak Gatot masih berdiri dan melambai-lambaikan tangannya. Senyumnya yang lebar mengantar perjalanan kami dari Malang ke Surabaya. Perjalanan luar kota pada malam hari kami rasa cukup menyenangkan. Jalanan sepi dan kami menyempatkan singgah untuk minum kopi di sebuah warung di kota Pandaan. Wajah Tatok masih berbinar-binar. "Gak rugi rek, ketemu kakek guru master gitar. Konco sakalmamater pisan (nggak rugi. Ketemu kakek guru master gitar sekaligus teman sealmamater)," katanya setelah menghabiskan secangkir kopi hitam.

15 menit kemudian kami meneruskan perjalanan pulang ke rumah kami masing-masing. Surabaya sudah setengah terlelap diambang pagi. Dentang jam berbunyi. Pukul tiga. Sampai di rumah rasa lelah sungguh tak ada. Hanya rasa puas, kagum dan tidak sabar. Sayapun mulai mengetik tulisan tentang beliau. Mungkin, jika saya tidak ketiduran, beberapa jam lagi tulisan itu bisa selesai. Namun jika saya sampai ketiduran, saya akan kembali lagi besok. Saya sungguh tidak sabar, dan sudah saya angan-angankan di akhir tulisan saya nanti, akan saya tutup dengan 9 kata:

Semoga sehat selalu, Cak Gatot. Semangatmu tidak sendirian, kawan.

by: GDN.

1 comment:

  1. ngetren doro dibikin dong ama sekaring Jagad. Mungkin digabung dengan fenomena anak muda jaman sekarang. jadi lagu dua jaman. Jaman skrg jaman HP, motor2an dsb

    ReplyDelete