Lereng
Gunung Semeru: Antara Kehangatan dan Kebersamaan
Panggilan saya dijawab olehnya dan beliau tampak senang
ketika mengetahui kami sedang bersama Cak Gatot.
Awalnya, seorang musisi senior Surabaya, Priyatna
-kami memanggilnya 'Pak Pri'-, memberi pesan singkat di whatsapp: "Secara
pribadi aku nggak kenal Gombloh, tapi
aku berkawan dekat dengan Cak Gatot Yuwono. Beliau gitaris pertama Gombloh dan
merupakan gitaris blues yang ilmu
bluesnya itulah yang telah kuturunkan pada kalian semua. Dulu kami tetanggaan di daerah
Kebraon, Surabaya. Anakku sering kutitipkan disana waktu kecil. Kalau mau sowan
(berkunjung), datang aja ke resepsi putrinya besok di Malang".
Cak Gatot (tengah) |
Pak Pri adalah gitaris sepuh Surabaya yang dianggap
sebagai guru besar. Beliau memiliki puluhan murid, diantaranya adalah Tatok dan
Sahtanta Eka Cibi, yang keduanya adalah gitaris Sekaring Jagad. Ratusan murid lainnya
tersebar di seluruh daerah. Di media sosial, murid-murid Pak Pri membentuk
komunitas melalui grup facebook, whatsapp, line dan bbm bernama 'Paguyuban
Murid Priyatna'. Pak Pri mengetahui jika kedua muridnya, Tatok dan Sahtanta
Cibi tergabung dalam Sekaring Jagad, band yang mengkhususkan diri membawakan
lagu-lagu Gombloh di setiap penampilannya. Maka dari itu beliau berinisiatif
mempertemukan kami dengan Cak Gatot yang merupakan mantan gitaris Gombloh.
Sabtu, 16 Mei 2016 pukul 16.00 WIB, saya dan Tatok
berangkat menuju Malang. Berdua saja. Beruntunglah hari sedang cerah, jalan juga
tidak macet. Kami melewati Sidoarjo, Pandaan, Pasuruan, begitu lancar dan tidak
ada halangan berarti. Kami hanya sempat beristirahat di sebuah masjid di daerah
Lawang sembari menyeruput segelas es tebu. 15 menit kami melanjutkan
perjalanan, dari Lawang melewati Singosari, hingga sampailah kami di kota
Malang. Sampai di Malang, kami terus bergerak ke arah timur, arah
Cemorokandang, sebuah daerah yang terletak di lereng gunung Semeru. Daerah Cemorokandang
yang kami lewati udaranya cukup sejuk. Ketika itu jarum jam menunjukkan pukul
20.00 WIB. Petunjuk alamatnya adalah kompleks perumahan Villa Gunung Buring di
daerah Cemorokandang. Sudah puluhan orang kami tanyai, tapi nyatanya kami tetap
kesasar juga hingga hampir menuju kawasan hutan dan jurang. Kami kesasar cukup jauh
dan harus putar balik. Sekitar 10 kilometer kami menempuh jalan balik hingga
menemukan kompleks perumahan yang dimaksud.
Masuk ke kompleks perumahan, gang rumah Cak Gatot berada
di paling ujung. Kami masuk ke gang rumahnya dan menemukan terop pernikahan. Ketika
masuk, mata dan hidung kami tertuju pertama kali kepada mangkuk-mangkuk gulai
kaki kambing yang aroma lezatnya begitu menggoda. Lalu tak lama kemudian kami
disambut oleh seorang wanita sepuh yang ternyata istri dari Cak Gatot.
"Oh ini tamu-tamu dari Surabaya yang kenalannya
Pak Pri itu ya? Monggo, silahkan, Bapak ada di dalam". Begitu beliau
mempersilahkan.
Kamipun masuk ke dalam halaman rumahnya. Di deretan
kursi lipat, di pojokkan duduk seorang sepuh yang menggenggam sebuah tongkat di
tangan kirinya. Dengan ramah bergaya khas Arek Suroboyo, orang itu berujar,
"Lhoalah iki ta Muride Pri. Ayo
lungguh kene mas, lungguh jejerku karo-karo! (Oo ini muridnya Pri, ayo
duduk sini, mas, bersebelahan denganku)".
Sosok itu adalah Cak Gatot Yuwono. Beliau memperkenalkan
diri dengan ramah. Tampak, ketika berbicara kadang-kadang tangan beliau bergetar.
Untuk beranjak saja beliau kesulitan. Ternyata, beliau mengatakan pada kami kalau
beliau habis sembuh dari stroke. Cak Gatot cukup periang. Ia selalu senang jika
ada tamu dan mengajaknya ngobrol. Semangatnya akan tambah menggebu-nggebu
ketika diajak bicara soal musik, apalagi soal Gombloh.
"Oh iya, saya dengar dari mas Pri kalau hari
ini datang dua orang musisi yang suka membawakan lagu-lagu Gombloh. Rupanya mereka
adalah sampean berdua.. Iya, betul kata mas Pri, saya pernah mengikuti proses
kreatif Gombloh dan menggarap, kalau tidak salah, sekitar 4 album".
Lalu kemudian Cak Gatot bercerita jika Pak Pri juga sempat
belajar pada beliau soal musik, terutama blues. Tatokpun menyahuti, "Iya
betul Cak, Pak Pri pernah bilang pada saya kalau beliau pernah belajar di Cak
Gatot. Lha Pak Pri itu guru saya,
jadi hitungannya Cak Gatot ini termasuk kakek guru saya," canda Tatok.
Kamipun tertawa bersama.
Rasa penasaran kami terhadap sosok Cak Gatot rupanya
tak berlangsung lama. Beliau membuka diri tentang siapa sosoknya. Rupanya, Cak
Gatot adalah seorang pekerja seni yang mendedikasikan diri sepenuhnya pada
musik. Sebelum bermain dengan Gombloh, ia tergabung dalam grup musik Avanti, yang
diantara personilnya adalah (alm) Inisisiri, drummer Kantata Takwa, dan Niki
Kosasih, vokalisnya yang juga penggiat teater serta pernah terlibat dalam
produksi film 'Saur Sepuh', yang terkenal pada dekade 90'an. Band Avanti waktu
itu kerap bermain di kafe-kafe, pub dan hotel-hotel ternama di Indonesia. Setelah
keluar dari Lemon Trees, Cak Gatot melanjutkan eksistensi Avanti sebagai home
band di berbagai tempat. Beliaupun sempat pula merantau ke Bali selama beberapa
tahun dan bermain musik disana.
"Saya juga pernah membentuk BBC Band yang di
dalamnya ada personil-personil seperti Soelih dan Bambang John. Tau Soelih,
kan? Beliau vokalis Gombloh. Beliau itu juga pernah bikin album duet bareng
Bambang John. Namanya duet 'John Soelih', jauh lebih dulu terkenal, dan mungkin
album duet pertama sebelum munculnya duet fenomenal 'Frangky and Jane'," ujar
Cak Gatot, yang kini, piringan hitam BBC Band yang berjudul 'Cipta Manusia', tersimpan
rapi di Galeri Musik Malang. Selain itu, beliau juga pernah berproses menggarap
album bareng Naniel Yakin, pemain alat musik tiup di Kantata Takwa, yang mana
beliau juga pernah bergabung dengan Gombloh di Lemon Tree's Anno '69.
"Saya itu sejak kecil selalu berkelana dari
satu tempat ke tempat lain. Maklum, ayah saya profesinya tentara yang sering
ditugaskan di berbagai tempat di Indonesia. Jadi masa kecil saya, saya lalui di
Sidoarjo, tepatnya di daerah Ngelom, Geluran, Sepanjang, sampai kelas dua SD.
Kemudian pindah di Makassar. Ketika menginjak bangku SMA, saya kembali ke
Surabaya. Setelah lulus, saya kuliah di Akademi Pendidikan Tekhnologi Negeri
(APTN), di Jalan Ngaglik, Surabaya. Lalu kemudian drop out..yah, saya lebih
fokus bermusik, sama seperti Gombloh yang drop out dari ITS, hahaha...", kenang
gitaris yang menyukai permainan gitar Mr.335 alias Larry Carlton.
"Hei, obrolannya dilanjut nanti. Ayo kalian
makan dulu,". Kamipun dipersilahkan untuk menyantap hidangan. Hari itu sebenarnya
bertepatan dengan resepsi pernikahan putri Pak Gatot. Acaranya siang hari, sedangkan
kami datang malam. Walhasil, semangkuk besar gulai kaki kambing yang sudah menangkap
mata kami sejak tadi, kami nikmati berdua saja. Saat asyik makan, Cak Gatot
dengan ponselnya kemudian menunjukkan pada kami lagu-lagu dan
aransemen-aransemen gitar yang disukainya. Setelah itu, gantian kami yang
menunjukkan padanya lagu-lagu Gombloh yang kami aransemen kembali lewat band
kami Sekaring Jagad. Beliau mengangguk-angguk dan cukup senang katanya, melihat
anak-anak muda yang membawakan kembali lagu-lagu Gombloh yang dimasa kini
karya-karya Gombloh perlahan-lahan mulai dilupakan. Di tengah dinginnya lereng
gunung semeru, persahabatan diantara kami bak nyala api unggun. Kehangatan menyeruak.
hawa yang menusuk tulang sirna, juga lelah sepanjang perjalanan.
Imajinasi
Melampaui Batas
Seusai makan, kamipun kembali duduk bersama Cak
Gatot. Perbincanganpun kembali menghangat. Apalagi, Cak Gatot bercerita
mengenang masa-masa indahnya bersama Gombloh.
"Awalnya, Gombloh yang punya banyak kawan itu
bercerita kalau dia punya lagu-lagu ciptaan sendiri. Lalu dia berinisiatif
mengajak saya dan kawan-kawan lain untuk bermusik. Setelah menjalani beberapa
kali latihan, dipilihlah personil-personil yang dirasa cocok dengan
karakternya. Sudah beberapa kali bongkar-pasang player karena banyak pula yang nggak
sesuai dengan lagu-lagu ciptaan Gombloh yang nggak umum, yang berat",
ujarnya.
Dikatakan Cak Gatot, Gombloh memiliki idealisme yang
khas, juga imajinasi yang tidak berlebihan jika dikatakan melampaui imajinasi
manusia pada zamannya. "Bayangkan, ketika musik didominasi oleh lagu-lagu
yang mendayu-dayu, juga trend bangkitnya musik rock 80an, Gombloh tampil dengan
musik folk blues sekaligus dengan kenyelenehan lirik-liriknya. Saya kira nggak
ada yang segila Gombloh dengan lagu ciptaannya yang berat ketika itu. Pernah
dengar 'Dimensi Antar Ruang', 'Nadia dan Atmosphere', juga '1.000.000 tahun
Sesudah Masehi'? Coba dengar, liriknya berat lho itu!".
Dalam lirik '1.000.000 Tahun Sesudah Masehi', Cak
Gatot sempat menyaksikan proses penciptaannya. Ketika Gombloh menawarkan lagu
tersebut, dikatakan oleh Gombloh, bahwa sederhananya, lagu itu bercerita tentang
kondisi bumi pada tahun sejuta masehi. Sudah tidak ada lagi keasrian,
kesejukan. Tinggal hanya gersang, kering, panas dan tanpa kehidupan.
"Lalu ada juga lagu ciptaan Gombloh berjudul
'Tetralogi Fallot'. Lagu itu dinyanyikan oleh adiknya Gombloh, juga kalau nggak
salah duet dengan Soelih. Liriknyapun berat. Ketika saya bertanya, 'Mbloh, iki lagu nyeritakno opo seh sakjane
(Mbloh, ini lagu sebenarnya bercerita tentang apa?'; dengan enteng Gombloh
menjawab, 'Gampangane, iki lagu
nyeritakno penyakit. Wes ngono ae (Gampangnya, ini lagu tentang penyakit,
udah gitu aja),' katanya". Menurut Cak Gatot, nyatanya, lagu itu lebih
banyak berbicara tentang kritik Gombloh tentang ketimpangan sosial, yang
inspirasinya terilhami oleh adiknya yang seorang dokter. "Itulah luar
biasanya Gombloh. Apa saja dapat menjadi inspirasinya. Awalnya Tetralogi Fallot itu inspirasinya
berasal dari adiknya yang kerja jadi dokter. Dokter kan hubungannya dengan penyakit.
Lha Gombloh akhirnya bikin lagu yang
awalnya tentang penyakit, kemudian diberi bumbu-bumbu, jadilah sebuah lagu yang
berubah menjadi sasaran kritik terhadap kondisi sosial Indonesia," terang
Cak Gatot.
Lebih lanjut, Cak Gatot bercerita jika Gombloh
memiliki niat membuat sebuah lagu yang hingga kini tidak kesampaian. Ceritanya,
Gombloh pada suatu ketika tertarik dengan kebiasaan anak-anak muda kota
Surabaya, yaitu mengadu burung dara. Istilah Jawanya 'ngetren doro'. Hingga
pada suatu siang, saat Gombloh datang ke studio rekaman, ia saat itu terlihat
termenung. "Lapo mbloh? (Kenapa
Mboh?)", tanya Cak Gatot. "Aku
mari oleh inspirasi. Kapan-kapan aku kudu nggae lagu sing nyeritakno bab ngetren
doro (Aku habis dapat inspirasi. Kapan-kapan aku harus membuat lagu yang
menceritakan tentang kebiasaan adu burung dara)" kata Gombloh.
Sayang disayang, lagu itu tidak sempat terealisasi sampai
saat Gombloh meninggal dunia.
"Begitulah awalnya, hingga kemudian Gombloh
akhirnya memiliki ide untuk mengajukan band kami di perusahaan rekaman Golden
Hand, yang waktu itu lokasinya di dekat THR, Surabaya," tuturnya.
Sempat dikira Pelawak Srimulat
Ada cerita lucu ketika pertama kali Gombloh
mendatangi lokasi studio Golden Hand. Gombloh yang penampilannya semrawut, kurus
kering serta berambut gondrong, sempat disangka pelawak Srimulat oleh pihak
security studio Golden Hand.
"Jadi para security itu nggak percaya kalau
Gombloh itu musisi yang mau menawarkan lagunya ke Golden Hand. Bahkan, security
itu mengira kalau Gombloh adalah seorang pelawak Srimulat. Kan kebetulan gedung
Srimulat ada di THR, dekat lokasi studio Golden Hand. Lha kata mereka lagi, wajahnya Gombloh nggak ada perawakan
musisinya sama sekali..Malah lebih terlihat seperti pelawak..hahaha..kurang ajar memang," ujar
Cak Gatot sembari tertawa lepas.
Pihak studio rekaman Golden Hand waktu itu menyuruh
Gombloh untuk menunjukkan lagu-lagunya. Tak berapa lama kemudian, Golden Hand
setuju untuk memproduksi lagu-lagu karya musisi kelahiran Jombang itu.
"Sebenarnya Golden Hand agak ragu ketika mendengar lagu-lagu yang berat
dan penuh dengan makna yang satu-dua diantaranya susah dicerna itu. Namun, di
sisi lain, Golden Hand melihat Gombloh yang begitu berkarakter, mulai dari warna
suaranya yang khas, lirik-lirik lagunya yang unik dan cenderung sastrawi,
hingga pada rasa nasionalismenya. Di era itu, belum banyak band-band yang
mengusung tema cinta tanah air. Dan tentu saja, agar Golden Hand bisa dapat
pemasukan dari penjualan album-album Gombloh, maka di setiap album Gombloh,
perlu disisipkan satu-dua lagu yang ringan, yang sesuai dengan selera pasar.
Gomblohpun menyetujuinya, dan, dari situlah karir keartisan Gombloh semakin
melambung," ungkap Cak Gatot.
Melebur
bersama Semua Kalangan
Setelah dikontrak Golden Hand dan sudah tenar
sebagai artis, Gombloh tetaplah Gombloh yang sederhana. Beliau tidak terlena
dengan gaya hidup artis yang glamour. Seorang Gombloh tidak mau tinggal di
ibukota, melainkan memutuskan untuk tetap tinggal di Surabaya dan kerap kali
tidur di mabes Bengkel Muda yang terletak di dalam kompleks Balai Pemuda,
Surabaya. Kebiasaan begadang dan lupa makan adalah cerminan keseharian Gombloh.
Selain itu, ia juga kerap mengunjungi masyarakat-masyarakat di kampung-kampung
kumuh, bergaul dengan para tukang becak dan orang-orang pinggiran. Bahkan,
Gombloh akrab dengan penghuni-penghuni lokalisasi prostitusi di Surabaya. Bukan
untuk wisata seks, melainkan menjadikan orang-orang penghuni lokalisasi itu
sebagai teman, membantunya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga
mereka, sekaligus sebagai sumber inspirasi.
"Itulah mengapa setiap kali dapat bayaran dari
hasil manggung, Gombloh selalu memanggil kawan-kawannya yang jumlahnya bejibun.
Kalau ngumpul bisa sampai 100 orang dan dia mengajak mereka ke sebuah warung
makan. Mereka semua ditraktirnya makan," kata Cak Gatot.
"Oleh karena itu jika habis manggung,
istilahnya Gombloh itu jadi orang kaya sesaat. Besoknya, setelah bayaran
manggung habis, dia kembali ngutang duit dan minta rokok sama temannya..hahaha..,"
lanjut Cak Gatot. Beliau tertawa saat menceritakan gaya kesenimanan sang
Maestro, dan dari situlah Cak Gatot melihat kesederhanaan dan meleburnya Gombloh
bersama orang-orang dari semua kalangan.
Selain akrabnya Gombloh dengan kawan-kawan serta
masyarakat, Gombloh dikenal sebagai pencipta lagu ulung. Cak Gatot berkisah,
pernah suatu kali Gombloh di-deadline oleh produser Golden Hand untuk menyetor
lagu-lagunya. Beberapa hari mendekati hari deadline, Gombloh terlihat santai
keluar masuk studio Golden Hand. Kerjaannya hanya latihan bersama band, mengulang
lagu-lagu yang sudah jadi, setelah itu
duduk-duduk santai, minum kopi di ruang tamu dan seringkali numpang tidur
disana. Produser Golden Hand, Pak Koing namanya, lama-lama menjadi geram. Ia
bertanya pada Gombloh, "Mbloh, endi
lagumu? Ojok sampek telat koen (Mbloh, mana lagumu? Jangan sampai telat
kamu)!" Kata Pak Koing. Mendengar itu, Gombloh yang sedang tidur-tiduran
menjawab santai, "Yo ngkok tak
gawekno telong lagu pak. Aku tak turu disik. Ngantuk (Ya nanti saya buatkan
tiga lagu pak. Saya mau tidur dulu. Ngantuk)," ujar Gombloh yang tidak
lama kemudian tertidur lelap.
Rupanya, Pak Koing, produser Golden Hand yang juga
pengusaha alat-alat musik itu menunggui Gombloh yang sedang pulas. Cukup lama
sampai Gombloh terbangun. Setelah tahu Gombloh mulai membuka mata, kembali Pak
Koing menagih janji Gombloh, "Uwes
enak turumu? Nek wes enak, ndang mlebuo studio trus nggaweo telung lagu
(sudah enak tidurmu? Kalau sudah enak, segeralah masuk studio dan bikinlah tiga
lagu)!,".
"Iyo-iyo
Pak," ucap Gombloh dengan sedikit sebal. Beliau kemudian mulai masuk
studio dan genjrang-genjreng seorang diri dengan gitarnya. Selang 2 jam
kemudian, Gombloh memanggil Pak Koing masuk. Di dalam, rupanya Gombloh menunjukkan
3 lagu barunya yang ternyata sudah jadi dalam 2 jam. Setelah puas berbincang-bincang
dan berdiskusi, Gombloh dan Pak Koing keluar studio. Diluar studio, kawan-kawan
band seperti Cak Gatot dan keyboardis Wisnu terlihat santai sambil ngopi dan
makan cemilan. Mereka tertawa melihat Pak Koing yang keluar studio sembari terheran-heran
melihat kemampuan Gombloh menciptakan banyak lagu dalam hitungan jam.
"Pak Koing, sakdurunge
sampean lak wes tak kandani, nyiptakno lagu iku perkoro gampang gae Gombloh.
Sampean tenang ae Pak, cukup lungguh sing anteng karo ngopi (Pak Koing,
sebelumnya anda kan sudah saya beritahu, urusan menciptakan lagu itu perkara
mudah buat Gombloh. Anda tenang saja Pak, cukup duduk yang nyaman sambil ngopi),"
ucap Cak Gatot kepada Pak Koing waktu
itu sembari tertawa.
"Lha iki
batas waktune wes cedek. Lak yo ngelu aku nek sampek gak mari. Yowes sesuk
maneh, nek Gombloh mrene tak kongkone turu ae. Nek wes melek, tak kongkone
nggae lagu. Ketokke nek pengen nyiptakno lagu, arek iki (Gombloh) kudu turu disik (Lha ini deadline sudah
dekat. Kan aku pusing kalau sampai (lagunya) nggak selesai. Ya sudah, besok
lagi kalau Gombloh kesini, aku suruh tidur saja. Kalau sudah bangun, aku suruh
bikin lagu. Kelihatannya kalau pengen menciptakan lagu, anak ini (Gombloh,
maksudnya) harus tidur dulu)," jawab Pak Koing waktu itu. Semuanya larut
dalam tawa. Tidak halnya dengan Gombloh, ia kembali tidur.
Gaya
Kesenimanan yang Susah Diikuti
Salah satu alasan Cak Gatot memutuskan keluar dari Lemon
Trees, adalah karena beliau tidak mampu mengikuti gaya kesenimanan sang maestro.
Mulai dari latihan yang tidak terjadwal, begadang, kebiasaan Gombloh yang suka
berpetualang dari satu tempat ke tempat lain, membuat segala yang telah
direncanakan jadi batal.
"Terus terang saya sulit mengikuti gaya
Gombloh. Misalnya, kalau besok sudah ada janji latian, atau sesi wawancara, Gombloh
tiba-tiba menghilang entah kemana. Beberapa hari kemudian dengan klewas-klewes, Gombloh datang dan bilang
kalau dia habis jalan-jalan, refreshing katanya. Aneh kan? Masa refreshing harus
bolak-balik? Kalau tidak refreshing, seringkali alasannya ia sedang
beranjangsana ke rumah kawan-kawannya. Semua orang tahu, kalau kawan Gombloh
itu ada beratus-ratus orang. Kalau mau dianjangsanai satu persatu, ya bisa
setahun nggak selesai-selesai. Sementara sebagai sebuah band, kami harus sering
ketemu, diskusi dan latihan. Waktu itu, kemampuan saya untuk mengikuti gaya kesenimanan
Gombloh pada akhirnya mencapai batasnya. Saya tidak mampu, dan akhirnya memutuskan
untuk berhenti," kenang Cak Gatot.
Waktu itu Cak Gatot mengutarakan keputusannya untuk
berhenti dari Lemon Tree's. Gomblohpun dengan berat hati mengiyakan. Tapi itu
bukan berarti berakhirnya hubungan pertemanan. Mereka berdua tetap saling
mengunjungi dan bertemu dengan akrab di Golden Hand. Waktu itu, posisi Cak
Gatot digantikan oleh Cak Pardi. Tidak lama kemudian, Gombloh dan Lemon Trees
berpindah produser. Mereka bergabung di Nirwana Record. Cak Pardi sebagai gitaris
baru memulai merekam lagu-lagu baru disana, sekaligus mendaur-ulang lagu-lagu
lama yang sebelumnya direkam dengan Cak Gatot.
Cak Pardi (empat dari kanan) |
Rupanya, produser baru mereka di Nirwana Record
memberi pesan pada Gombloh dan Cak Pardi untuk tidak menghilangkan atau merubah
tematik-tematik melodi lagu-lagu sebelumnya yang telah dikreasi oleh Cak Gatot.
Walhasil, Cak Pardipun banyak berdiskusi dengan Cak Gatot soal kreasi gitar pada
lagu-lagu Gombloh.
"Termasuk tematik melodi pada lagu Kebyar-Kebyar.
Itu kreasi saya yang dikembangkan oleh Cak Pardi menjadi lebih rapi dan lebih
bernuansa. Cak Pardi hingga kini sering kontak-kontakan dengan saya. Cak Pardi itu
gitaris hebat yang permainannya berkarakter, sehingga dapat lebih menghidupkan atau
memberi 'nyawa' pada lagu-lagu Gombloh," tutur Cak Gatot.
Di sela perbincangan, saya menyempatkan diri untuk
menelepon Cak Pardi.
"Memang Cak Gatot itu gitaris Gombloh sebelum saya.
Wah, lama juga saya tidak bertemu dengan beliau. Tolong sampaikan salam saya
buat Cak Gatot. Dia itu gitaris yang juga menginspirasi permainan gitar saya. Ah,
kapan-kapan nanti jika ada waktu saya ingin bertandang ke rumahnya.. salam saja
semoga Cak Gatot sehat selalu," pungkas Cak Pardi via telepon.
Akhir
Perjumpaan dengan Kakek Guru sekaligus Kakak Kelas
"Saya dulu itu setelah lulus SMP, saya melanjutkan sekolah di SMA
Putra Wijaya, daerah Kodam, Jl.Brawijaya. Dari situ saya, selain musik juga
tertarik menggeluti ilmu elektro, dan..."
"SMA Putra Wijaya? Kodam? Persit itu Cak?,"
potong Tatok yang tiba-tiba dihinggapi rasa penasaran ketika Cak Gatot bercerita
tentang pengalaman semasa sekolah dulu.
"Iya, saya lulus tahun 1969," tambahnya.
Tatok terlihat kaget. Sontak, ia mengatakan, "Lho
Cak, saya juga lulusan situ. Dulu memang namanya SMA Putra Wijaya, sekarang
diubah jadi SMA Kartika. Saya lulus tahun 1990..wah, salaman dulu, Cak! Kita
sealmamater!," ujar Tatok sembari mengulurkan tangannya.
"Wah, saya ternyata kakak kelas sampean terpaut 21 tahun," ujar Cak
Gatot sambil tersenyum dan menyambut uluran tangan Tatok.
Pertemuan malam itu sungguh luar biasa bagi kami.
Terlebih Tatok, karena selain dapat bertemu dengan gitaris Gombloh yang punya
banyak cerita, yang juga guru dari guru gitarnya (Pak Pri), yang ternyata juga
sealmamater dengan Tatok. Terlihat dari raut wajahnya, Tatok begitu
berbunga-bunga. Jarang sekali ia menemui kawan sealmamaternya yang jadi musisi
seperti Cak Gatot. "Keren!!," katanya berulang-ulang.
Perlahan bulan sabit diatas langit semakin
meruncing. Pembicaraan kami telah mengasahnya hingga tampak begitu tajam. Malam
dan hawa dingin Semeru benar-benar larut dalam sepanjang perbincangan. Kamipun
tersadar. Cak Gatot yang baru pulih dari sakitnya juga butuh istirahat.
Terlebih, hari itu pastilah hari yang sangat melelahkan bagi Cak Gatot, sebab
sedari pagi ia sibuk dengan pesta pernikahan putrinya. Kamipun meminta maaf
karena telah mengajaknya ngobrol sampai larut malam sembari berpamitan.
"Wah, saya ini justru senang kalau ada yang
ngajak ngobrol soal musik. Sampai pagipun saya ladeni. Karena hiburan saya sekarang
ya sebatas mendengarkan musik dan ngobrol bersama para kawan tentang musik.
Apalagi coba? Gitar saya sudah terjual semua karena biaya pengobatan saya
sekaligus mempersiapkan acara pernikahan putri saya ini. Praktis, setelah kena
stroke, saya berhenti bermain gitar. Makanya saya senang kalau ada yang ngajak
ngobrol soal musik," ujar gitaris yang juga guru dari ex gitaris
Boomerang, John Paul Ivan tersebut.
Sungguh luar biasa sosok Cak Gatot. Kamipun bersalaman,
kemudian kami berdua mulai melangkah menuju parkiran. Cak Gatot mengiringi kami
sampai halaman rumahnya. Dan belum 100 meter kami melangkah, Tatok tiba-tiba berbalik.
Ia lari-lari kecil kearah Cak Gatot.
"Kita salaman lagi ya Cak..kan kita sealmamater, hehehe," ujar Tatok sembari mengulurkan
tangannya. Cak Gatot menyambutnya sembari tertawa. Terhitung semenjak datang hingga
pulang, sudah 4 kali Tatok bersalaman dengan Cak Gatot.
Setelah puas bersalaman, kamipun berjalan kembali ke
arah parkiran motor. Dari jauh Cak Gatot masih berdiri dan melambai-lambaikan
tangannya. Senyumnya yang lebar mengantar perjalanan kami dari Malang ke
Surabaya. Perjalanan luar kota pada malam hari kami rasa cukup menyenangkan. Jalanan
sepi dan kami menyempatkan singgah untuk minum kopi di sebuah warung di kota
Pandaan. Wajah Tatok masih berbinar-binar. "Gak rugi rek, ketemu kakek guru master gitar.
Konco sakalmamater pisan (nggak rugi. Ketemu kakek guru master gitar sekaligus teman sealmamater),"
katanya setelah menghabiskan secangkir kopi hitam.
15 menit kemudian kami meneruskan perjalanan pulang
ke rumah kami masing-masing. Surabaya sudah setengah terlelap diambang pagi. Dentang
jam berbunyi. Pukul tiga. Sampai di rumah rasa lelah sungguh tak ada. Hanya
rasa puas, kagum dan tidak sabar. Sayapun mulai mengetik tulisan tentang
beliau. Mungkin, jika saya tidak ketiduran, beberapa jam lagi tulisan itu bisa
selesai. Namun jika saya sampai ketiduran, saya akan
kembali lagi besok. Saya sungguh tidak sabar, dan sudah saya angan-angankan di
akhir tulisan saya nanti, akan saya tutup dengan 9 kata:
Semoga sehat selalu, Cak Gatot. Semangatmu tidak sendirian,
kawan.
by: GDN.