Monday, February 18, 2013

Perform di program Indiekustik SBO

Adanya undangan dari SBO Tv untuk kembali mengisi program acaranya membuat Sekaring Jagad kembali disibukkan oleh hal baru, karena program SBO Tv kali ini berbeda dari yang sebelumnya. Dulu, ketika Sekaring Jagad tampil pada program 'Rolling Rock', Sekaring Jagad bisa leluasa bergombloh ria; sedangkan kali ini, program yang ditawarkan SBO Tv adalah 'indiekustik', dan kami diharuskan perform dengan membawakan lagu-lagu sendiri.

Berhubung Sekaring Jagad terhitung masih baru didirikan, maka Sekaring Jagad belum memiliki lagu sendiri. Setelah dilakukan perundingan, muncul wacana untuk membawakan lagu-lagu ciptaan Guruh Dimas Nugraha yang pernah direkam sebelumnya. Selain itu muncul pula wacana (yang sebetulnya wacana lama) untuk menambah gitaris baru, yakni Sahtanta Eka Prananta Tarigan, mantan gitaris Floopy yang pada tahun 2008-2009 pernah membantu dalam proyek pengerjaan lagu-lagu milik Guruh Dimas Nugraha.

Kesimpulannya, dipakailah lagu-lagu milik Guruh Dimas Nugraha sebagai materi perform di program 'Indiekustik' SBO Tv, sekaligus lagu tersebut diresmikan sebagai lagu indie milik Sekaring Jagad. Selain itu, wacana lama untuk memanggil Sahtanta Eka sebagai pengisi gitar kebetulan pula dapat terwujud berkat even SBO Tv tersebut. Walhasil, pada kesempatan itu Sekaring Jagad tampil pertama kali dengan formasi 5 orang: Guruh Dimas Nugraha (vokal), Tato Tara (gitar), Sahtanta Eka (gitar), Frangky Mundu (bass) dan Kris Eka (drum). Formasi 5 orang personil ini dipakai Sekaring Jagad hingga sekarang.
Dalam kesempatan perform di program 'Indiekustik' SBO Tv', Sekaring Jagad total membawakan 4 lagu ciptaan Guruh Dimas Nugraha, yakni, 'Nafsu', 'Blues Anak Rantauan', 'C'mon Baby Dance' dan 'Asalkan Kau'. Penampilan itu selain menandai penampilan pertama Sekaring Jagad dengan format personil sejumlah 5 orang, juga menandai bahwa untuk pertama kalinya Sekaring Jagad membawakan lagu-lagu sendiri dihadapan publik musik Jawa Timur.

Perform di Kaza Surabaya



Pada September 2011, Sekaring Jagad diundang oleh manajemen Kaza Mall yang terletak di Jl. Kapas Krampung, Surabaya. Kembali mengusung lagu-lagu Gombloh, Sekaring Jagad menghibur para pengunjung mall hingga larut malam.

Udhien Droemmulen adalah penghubung antara Sekaring Jagad dan manajemen Kaza Mall, konon, menurut cerita ia pernah melihat live performance Sekaring Jagad di SBO Tv, selain itu ia juga merupakan kawan dekat Iyus Reptil, sesepuh Nowars Surabaya.

Penampilan Sekaring Jagad di Kaza Mall tersebut sekaligus menandai penampilan terakhir Sekaring Jagad dengan formasi awal yang masih beranggotakan 4 orang personil, yakni Guruh Dimas Nugraha (vokal), Tato Tara (gitar), Frangky Mundu (bass) dan Kris Eka (drum). Sebab setelah penampilan di Kaza Mall, tepatnya di SBO Tv, Sekaring Jagad telah menggunakan format 5 orang dalam penampilannya.

Segera setelah pulang dari Kaza Mall, Sekaring Jagad kembali dihubungi SBO untuk tampil dalam acara 'Indiekustik', yakni program milik SBO Tv yang menayangkan lagu-lagu buatan sendiri yang kerap diisi oleh band-band lokal Jawa Timur.

Sunday, February 17, 2013

Perform di SBO

Setelah 2 kali penampilan Sekaring Jagad di THR dan Tunjungan Plaza, tiba-tiba datang tawaran dari stasiun Tv lokal Surabaya, namanya SBO Tv. Tim kreatif menghubungi Sekaring Jagad untuk bisa tampil dalam acara 'Rolling Rock' yang ketika itu ditayangkan di channel tv lokal sebanyak 2 kali dalam seminggu. 

'Rolling Rock' adalah sebuah program milik SBO Tv yang berisikan tentang performa band-band rock di Jawa Timur. Sekaring Jagad yang membawakan lagu-lagu Gombloh dalam setiap penampilannya memang kerap menyajikan lagu Gombloh dan beberapa lagu dibawakan dalam nuansa musik rock. Itulah alasan mengapa SBO Tv mengundang Sekaring Jagad untuk meramaikan acaranya, selain bertujuan untuk mengusung kembali lagu-lagu Gombloh.

Ketika itu sekitar bulan September 2011, Sekaring Jagad dengan formasi awal yang berisikan 4 orang: Dimas (vokal), Tato (gitar), Frangky (bass) dan Eka (drum) melakukan shooting di studio SBO Tv, di gedung Graha Pena lantai 21. Shooting dilakukan selama sekitar 1 jam dengan membawakan 7 lagu. Tema acara ketika itu adalah 'Tribute to Gombloh'. Setelah acara shooting selesai, kami pulang ke rumah masing-masing dan menunggu tayangnya penampilan kami di Tv.

Seminggu kemudian, Sekaring Jagad ditayangkan di SBO Tv. Walaupun kualitas broadcast sound sedikit kurang memuaskan, namun performa di Tv itu cukup banyak mengundang perhatian dari khalayak ramai, sebab frekuensi pemutarannya mencapai 8 kali dalam sebulan; konon, SBO Tv terus-terusan menayangkan Sekaring Jagad di program 'Rolling Rock' dikarenakan banyaknya permintaan penonton yang haus akan kerinduan terhadap lagu-lagu sang maestro: Gombloh.

Ya, setidaknya setelah tampil di SBO Tv, tawaran manggung bagi Sekaring Jagad mulai bermunculan. Suatu berkah tersendiri bagi Sekaring Jagad.

SERIAL MEMORIES OF GOMBLOH: Iring-Iringan Itu Semakin Panjang (by: Dhahana Adi)



 

Surabaya | Gombloh meninggal di puncak kariernya. Seniman mumpuni ini, seolah-olah ‘menilap’ banyak orang. Dia pergi justru ketika orang-orang makin percaya pada dinamika kariernya, dan juga perkembangan kesehatannya.  Hari itu, 9 Januari 1988, Surabaya menjadi begitu muram. Malam Minggu tak seperti biasanya, menjadi malam sarat akan duka. Di mana-mana, orang lantas membicarakan kepergian seniman pujaannya, dalam nada yang nyaris tak percaya kebenaran berita yang didengarnya. Akan tetapi, ketika kemudian TVRI Surabaya menyiarkan berita duka itu-lengkap dengan penayangan gambar almarhum di RS Darmo, tempat almarhum dirawat sebelum meninggal, barulah orang-orang itu yakin bahwa sang bintang pujaan memang telah berpulang.

Pembicaraan tentang kematian sang seniman jadi semakin meluas pada esok paginya, terutama setelah media massa yang terbit Minggu pagi sontak menurunkan berita duka itu sebagai berita utama. Hampir seluruh radio di Jawa Timur secara spontan sehari penuh mengudarakan lagu-lagu Gombloh, sejak album pertamanya hingga album terakhirnya. Suasana menjadi sangat dramatis, yang tak pernah dijumpai pada saat meninggalnya artis-artis ataupun seniman-seniman lain. Rasa kehilangan semakin terekspresikan dengan jelas pada saat pemakaman. Ribuan orang ikut mengiring jenazahnya, menyaksikannya untuk yang terakhir kali. Bahkan seolah-olah seperti mau ngalap berkah almarhum, sehingga banyak yang saling berebut hendak memanggul keranda tempat almarhum terbujur, ketika dinaikkan di mobil jenazah, dan ketika menuju tempat istirahatnya yang terakhir.

Jenazah diberangkatkan dari rumah duka sekitar pukul 10.00 WIB. Prosesi jenazah dikawal langsung oleh mobil patroli Polwiltabes Surabaya. Lalu diikuti konvoi klub Harley Davidson, klub Mercy Surabaya, iring-iringan puluhan mobil dan sepeda motor, hingga bus kota DAMRI. Bahkan tak ketinggalan ada juga yang mengayuh sepeda pancal dan becak. Sepanjang perjalanan sejauh ± 15 kilometer dari rumah duka ke pemakaman umum Tembok tersebut, iring-iringan menjadi semakin panjang dan banyak, karena masyarakat di sepanjang jalan yang dilalui iringan-iringan ini spontan ikut bergabung.

Sebuah belasungkawa spontan yang begitu luar biasa. “Gombloh.. Gombloh..”, teriak orang-orang di sepanjang jalan. Ada beberapa remaja yang sampai-sampai berteriak histeris, menyebutkan nama Gombloh sambil mengacungkan tangannya. Suasana ini seakan-akan melebihi sebuah pawai dari salah satu organisasi peserta Pemilu. Berkerudung hitam, istri almarhum, Wiwiek ikut mengantar sambil dipapah oleh ayah almarhum, Pak Slamet dan Yodi, keponakannya. Eddy Sud, Arie Wibowo, Rinto Harahap, dan beberapa artis teman dekat almarhum, juga ikut berada dalam rombongan iring-iringan tersebut. Tak ketinggalan seluruh kerabat dan sanak keluarga besar almarhum.

Gerbang makam yang berada di tengah pasar itu jadi sarat lautan manusia. Mobil jenazah pun geraknya menjadi tersendat-sendat, sulit menembus gelombang manusia yang begitu dahsyatnya. Terlebih ketika keranda diturunkan dari mobil jenazah, puluhan orang berebut untuk ikut kebagian memanggulnya. “Kita semua merasa sangat kehilangan. Wajar saja kalau suasananya menjadi seperti ini”, komentar Eddy Sud, koordinator Artis Safari. Berbusana safari coklat, lengkap dengan lencana DPRnya, Eddy menambahkan, “Saya tak menduga, ia akan dipanggil Tuhan secepat ini. Tidak hanya masyarakat Surabaya yang merasakan kehilangan atas perginya almarhum, tapi kita semua merasakannya. Bangsa Indonesia kehilangan salah seorang seniman terbaiknya”. Bahkan Eddy Sud menyebut Gombloh sebagai pribadi yang penuh optimisme dan memiliki semangat kerakyatan.

Rinto Harahap, ketua ASIRI (Asosiasi Industri Rekaman Indonesia) yang ikut hadir melayat, berkomentar, “Hanya Gombloh yang dapat meramaikan bahkan menghibur masyarakat  melalui lagu-lagunya yang gampang dicerna. Sudah saatnya Gombloh bukan hanya jadi milik Surabaya, tetapi sudah menjadi aset nasional”. Menurut Rinto, dengan meninggalnya Gombloh, dunia musik pop Indonesia kehilangan tokoh penting dan berharga, karena lagu-lagu Gombloh memberikan warna lain dalam khasanah musik bangsa. Titi Qadarsih, tangisnya meledak, begitu sampai di depan gundukan tanah tempat almarhum disemayamkan untuk selama-lamanya. Seorang pengawalnya, terpaksa memapah Titi yang limbung. Titi mengaku menyesal terlambat datang di saat kepergian almarhum, hanya sempat melihat gundukan tanah yang telah ditimbuni belasan karangan bunga. “Saya datang terlambat, karena pesawatnya terlambat. Saya kehilangan teman terbaik. Saya tak menyangka empat hari lalu adalah saat terakhir saya melihatnya“, tutur Titi sambil sesenggukan.

Arie Wibowo, yang ikut melayat ke rumah duka mengatakan, “Saya mengagumi Gombloh sejak album Kebyar-Kebyar, yakni sejak saya belum serius terjun ke dunia musik”. Karena itu, ketika dia punya kesempatan bekerjasama dengan almarhum, dia senang sekali. Album yang digarap bareng itu berjudul “Di Radio, Ada Anak Singkong”. Duet Gombloh dan Arie Wibowo ini bahkan sempat dicetak ke dalam bentuk compact disc, dan merupakan satu-satunya compact disc karya musisi Indonesia yang digarap di luar negeri, di Jepang. “Sebelum meninggal, rencananya almarhum akan duet dengan saya untuk kedua kalinya, pada Maret 1988. Rencana dan materi sudah siap, bahkan sampai pada itung-itungan honor juga. Tapi sayangnya, Tuhan berkata lain”, ujarnya.

Akhudiat, dramawan dan sastrawan Surabaya yang juga kenal dekat dengan almarhum, mengatakan bahwa Gombloh pantas disebut sebagai tokoh dalam industri musik pop. “Tentu saja ketokohannya harus ditakar dari paradigma musik pop, jangan ditakar dari ukuran jenis musik yang lain. Lagu almarhum, punya identitas. Ya identitas kegomblohannya itu, yang hingga saat ini tidak dipunyai penyanyi lain. Dia lahir dari sikap yang mandiri, bukan epigon siapa-siapa”, ujarnya. Vicki Vendi, mengatakan “Saya kehilangan kawan, sekaligus guru bagi saya pribadi”. Penyanyi yang telah melahirkan tujuh album, enam di antaranya adalah karya Gombloh ini, sejak malam meninggalnya Gombloh terlihat sangat sibuk, ikut membantu tuan rumah menyambut para pelayat.

*) Disadur dari buku “Blues untuk Kim“, yang sebelumnya dimuat di Suara Indonesia, 17 Januari 1988

*tulisan ini juga bisa diakses di blog milik kawan kami Dhahana Adi: http://ceritasurabaya.blogspot.com

SERIAL MEMORIES OF GOMBLOH: Selasa Malam Sampai ke Sabtu Kelabu (by: Dhahana Adi)

Surabaya | Selasa malam, Gombloh pulang dari Jakarta. Kepada istrinya, dia mengeluh capek. Karena itu, semalaman itu dia tak pergi ke mana-mana. Setelah bercanda dengan Remmy, anaknya dia tidur. Tetapi sebelum tidur, dia minta minum. Diambilkan air putih. Gombloh tidak mau.  “Dia minta sirup”, kata Wiwiek. Kebetulan persediaan sirupnya tinggal sedikit. Gombloh pun ngomel, “Kamu harus sedia sirup yang banyak. Sebentar lagi kita akan kebanjiran tamu”, kata Gombloh kala itu ditirukan oleh Wiwiek. Kata-kata itu tentu saja tidak punya arti apa-apa bagi Wiwiek termasuk tidak memahami kalau itu sebenarnya suatu isyarat akan meninggalnya Gombloh. Wiwiek mulai merasa tidak enak. Apalagi makam sebelumnya, dia mimpi gigi paling belakangnya tanggal.
Soal mimpi dan kekhawatirannya itu, lantas diceritakan ke Gombloh. “Walah ojok kakean pikiran. Nek wes tiba wancine, apapun bisa terjadi. Tenang ae, aku gak popo kok”, kata Gombloh menanggapi mimpi istrinya. Wiwiek jadi tenang kembali, tetapi kemudian pikirannya tidak enak lagi. Lagi-lagi Gombloh dengan tenang menanggapi pikiran istrinya itu, “Wis ta lah ojo kakean pikiran, nek wes ancen nahase, menungso gak iso ngeles”.

Setelah sama-sama sibuk, Wiwiek sibuk masak, Gombloh pun tiduran dan kemudian guyonan dengan Remmy sepulangnya dari sekolah. Masalah mimpi dan firasat-firasat langsung terlupakan begitu saja. Gombloh seharian tinggal di rumah. Baru pada malam harinya, dia pamit mau rekaman di Nirwana Record. “Saya pulangnya malam. Kamu tidur saja bersama Remmy, tidak usah menunggu”, kata Gombloh, seperti yang diceritakan Wiwiek. Dengan alasan agar tidak mengganggu Wiwiek kalau pulang nanti, Gombloh membawa kunci rumah dan menguncinya dari luar. Hal yang begini, memang sering dilakukan Gombloh kalau dia keluar malam.

Akibatnya, ketika malam itu teman Gombloh datang menjemput Wiwiek, memberitahukan bahwa suaminya sakit dan dilarikan ke UGD RS Dr. Soetomo, maka Wiwiek harus melompat pagar karena kunci rumahnya dibawa oleh Gombloh. “Teman Cak Su datang sekitar jam 03.00 pagi”, kisah Wiwiek. Rupanya teman-temah almarhum ini menggedor-gedor pagar rumah Gombloh sampai sekitar setengah jam, karena tempat tidur Wiwiek ada di belakang, maka gedoran itu tak terdengar.

Sesampainya Wiwiek di UGD, ternyata Gombloh sudah siuman. “Wiek, aku maeng semaput”, ujarnya, tanpa menjelaskan dia pingsan di mana. Karena tidak boleh banyak ngobrol oleh dokter, Wiwiek meminta agar suaminya tidur saja. Gombloh sendiri meski terlihat dalam keadaan payah, berusaha membesarkan hati istrinya dan teman-temannya, yang pagi itu juga langsung menjenguknya. Dia pun melakukan canda-canda ringan. Salah seorang perawat yang akan mengganti botol infusnya, jadi ‘korban’ candanya. Ketika jarum infus akan ditusukkan ke lengannya, Gombloh nyeletuk minta infusnya diganti saja karena sudah tua dan nggak enak.

Karena perawat tadi merasa bahwa jarum infus itu masih baru, maka dia mencoba menjelaskan pada Gombloh. Tapi toh akhirnya diganti juga. Gombloh pun senang. “Maklum dik saya akan tampil di TV malam Minggu nanti”, ucap Gombloh seperti ditirukan oleh Gunawan, salah satu temannya di Nirwana Record. Pukul 06.00, Gombloh terlihat sudah tidur pulas. Wiwiek ijin pulang duluan, untuk memandikan Remmy dan membuka kunci rumah.

Pukul 07.15, Wiwiek kembali ke UGD. Melihat wajah suaminya yang nampak kuyu, dan jarum infus yang melekat di lengannya, membuat Wiwiek teringat kembali mimpinya, kelakuan dan permintaan suaminya yang aneh-aneh. Kekhawatirannya itu semakin bertambah, ketika siang harinya oleh dokter, Gombloh disarankan untuk pindah ke RS Darmo. Di rumah sakit ini, Gombloh langsung ditangani dokter yang merawatnya sejak tahun 1980, dr. Sucipto Dwijo.

Sabtu paginya, Gombloh kelihatan lebih segar. Semua keluarganya bahkan teman-temannya merasa lega melihat hal ini. Bahkan ketika itu, Gombloh sudah bisa melucu. Tak ada tanda-tanda sedikitpun bahwa hari itu adalah hari terakhirnya dia hidup di dunia. Kepada istrinya pun Gombloh membesarkan hatinya, “Pulanglah, Wiek, saya tak apa-apa kok”, kata Gombloh, sekitar pukul 12 siang lebih. Wiwiek pun menuruti permintaan Gombloh, dan tidak tahunya, beberapa saat kemudian, sekitar pukul 13.00, seniman besar ini menghembuskan nafasnya yang terakhir. Gombloh pun meninggal dunia dalam kesendirian, tak ada seseorang pun yang berada di sisinya pada saat itu.

Malamnya, Gombloh benar-benar memenuhi janjinya pada salah seorang perawat itu. Ia benar-benar tampil di layar TVRI Stasiun Pusat, dalam acara Selecta Pop. Bagi Gombloh, acara itu tentu terlambat beberapa jam. Sebab , sekitar tujuh jam sebelum acara itu ditayangkan, ia telah berpulang. Maka acara itu kemudian lebih terasa sebagai pengantar bagi perjalanan terakhir Gombloh. Dalam Selecta Pop itu, almarhum tampil bersama Titi Qadarsih, membawakan lagu terbarunya “Apel”. Sebenarnya, bukanlah Titi yang menjadi backing vocal dari lagu tersebut, melainkan suara Rini Haryono, penyanyi Surabaya yang memang sudah terbiasa menjadi backing vocal lagu-lagu almarhum. Titi cuma memerankan, supaya acara itu kelihatan lebih menarik. Acara itu sendiri sebenarnya hasil rekaman pada hari Selasa siang, empat hari sebelum Gombloh pergi untuk selama-lamanya.

*) Disadur dari buku “Blues untuk Kim“, yang sebelumnya dimuat di Surabaya Post, 12 Januari 1988 dan foto diolah dari berbagai sumber.

*tulisan ini juga bisa diakses di blog milik kawan kami Dhahana Adi: http://ceritasurabaya.blogspot.com

SERIAL MEMORIES OF GOMBLOH: Di Radio, Kugadaikan Cintaku (by: Dhahana Adi)

Gombloh dan Titi Qadarsih


Surabaya | Lagu “Kugadaikan Cintaku” yang meledak itu, ternyata tidak sepenuhnya karya Gombloh. Intronya, ternyata diambil dari karya Jimmy Clift, tokoh musik reggae yang populer di era pertengahan 1960-an. Lagu yang dipetik Gombloh itu berjudul “Wonderful World, Beautiful People”. Awalnya, Bob Djumara membawa kaset itu ke studio. “Mbloh, lagu ini reffreinnya enak”, kata Bob waktu itu, sambil memutar lagu itu. Gombloh pun tertarik. Dia lantas secara tekun mendengarkan lagu itu berulang-ulang.

“Wah, ini memang bagus. Tapi reffrainnya saja yang kita jadikan bait. Lainnya kita ciptakan sendiri”, ujar Gombloh, seperti yang ditirukan oleh Bob. Tidak satu jam, Gombloh sudah berhasil menciptakan lagu yang idenya berangkat dari karya Jimmy Clift tersebut. “Tapi liriknya mengalami beberapa kali perubahan”, kata Bob. Semula, kata Bob, Gombloh membuat lirik yang bertemakan kritik sosial, tap Bob tidak setuju. “Wah sentuhan komersialnya kurang kena. Pakai lirik cinta saja”, saran Bob.
Gombloh berpikir lagi. Tidak sampai sepuluh menit, Gombloh sudah berhasil menemukan lirik yang dimaksud. Lirik lagu itu, seperti yang diceritakan Gombloh kepada Bob waktu itu, diilhami dari pengalaman Gombloh sendiri pada masa remajanya dulu. Suatu saat Gombloh pernah datang ke rumah cewek yang ditaksirnya, tetapi sampai di sana, dia kecele. Gadis itu lagi asyik bersama pacarnya. Gombloh mengakui ia mengenal gadis itu melalui acara pilihan pendengar di sebuah radio amatir. “Makanya, lagu itu diawali dengan kata di radio”, kata Bob, sound manager Nirwana Records.
Ternyata, perkenalan Gombloh dengan radio amatir ini sebenarnya ketika Gombloh tergabung dengan gank yang bernama “Gegars Otack”. Gank ini mempunyai radio amatir. Di radio amatir inilah Gombloh biasa cangkruk, termasuk kenal gadis itu.

Tak dinyana, lagu yang awalnya diciptakan tidak seserius lagu-lagu yang lain, malah meledak di pasaran. Lagu “Kugadaikan Cintaku” atau yang populer juga dengan judul “Di Radio” berhasil mengangkat nama Gombloh ke puncak karier dan kepopuleran. Pada tahun 1986 saja album ini menjadi album kaset terlaris. “Tercatat penjualan sekitar 500 ribu kaset, sebuah rekor di antara album-album Gombloh yang lain”, tutur Junaedi, manajer promosi Nirwana Record. Tak salah apabila kemudian ada yang menyebutkan bahwa lagu “Kugadaikan Cintaku” ini adalah masterpiece-nya Gombloh.

*) Disadur dari buku “Blues untuk Kim“, yang sebelumnya dimuat di Suara Indonesia, 17 Januari 1988

*tulisan ini juga bisa diakses di blog milik kawan kami Dhahana Adi: http://ceritasurabaya.blogspot.com



SERIAL MEMORIES OF GOMBLOH: Anak Juragan Ayam yang Suka Keluyuran (by: Dhahana adi)

Surabaya | Lagu-lagunya yang begitu nyentrik dan heroik, tidak lepas dari pengaruh masa kecilnya yang nyurabayani. Meskipun sebenarnya lelaki ini lahir di Tawangsari, Jombang pada 12 Juli 1948, namun sungguh bersatu dengan kultur Surabaya yang ‘berangas’ sejak masa bocahnya. Di dalam keluarga, Gombloh yang paling mbeling. Sejak kecil, dia sudah sering menghilang dari rumah. Ibunya, yang amat mencintai Gombloh, sering dibuat bingung oleh ulahnya. Pernah sepulangnya dari sekolah, dia langsung menghilang sampai Maghrib dan ternyata Gombloh kecil sedang asyik menonton orang melukis di pinggir jalan.

Gombloh kecil, memang kerap mengabaikan perintah mengaji, sebagaimana kebiasaan anak-anak di kampungnya, kampung Embong Malang, Surabaya. Tak jarang mengabaikan juga ajakan untuk membantu usaha ayahnya, pak Slamet, juragan ayam. Sementara enam saudaranya yang lain, sangat penurut dan patuh terhadap orang tuanya. Dari ketertarikannya ke dunia lukis, Gombloh lantas tergila-gila pada musik. Dia sering mendatangi tetangganya yang punya pintar. Karena Gombloh cepat pintar, tetangganya senang. Tidak hanya mengajari saja, bahkan hingga meminjaminya gitar. Gombloh yang waktu itu berusia enam tahun kurang, semakin bersemangat dalam bermain gitar.

Akibat ketergila-gilaannya pada musik, dia jadi lebih tidak mempedulikan lagi kewajiban-kewajibannya, termasuk cara berpakaiannya. Dia menjadi anak yang berpenampilan yang tidak rapi. Tapi anehnya, sekolahnya jalan terus dan sangat lancar. “Cak Su tergolong murid yang cerdas, mampu menangkap pelajaran dengan mudah. Diterangkan satu kali saja, sudah hafal langsung di luar kepala”, tutur dr. Sudjari, adik Gombloh. Ketika merasa sudah pintar main musik, Gombloh tertarik untuk ngamen. Ya, Sudjarwoto Sumarsono, sang anak juragan ayam Embong Malang itu tidak sedikitpun merasa malu jual suara dari rumah ke rumah, ke toko-toko, ke warung-warung sampai ke restoran-restoran.

Meskipun mbeling, ternyata Gombloh sangat halus perasaannya. Dalam pergaulan dengan kawan-kawannya, dia membenci anak-anak yang mengejek orang lain. Kalau bertengkar, dia suka mengalah. Dari sikapnya yang selalu mengalah ini, Gombloh menjadi anak yang tak suka berkelahi. Yang lucu, kalau dijahili teman, maka yang membela adalah kakak-kakaknya, tetapi kalau adik-adiknya yang dijahili teman-temannya, Gombloh malah menyalahkan adiknya. Tahun 1965, saat memasuki bangku kelas 2 SMA Negeri 5 Surabaya, Gombloh semakin sibuk dengan kegiatan-kegiatan musiknya. Dia seringkali mendapatkan undangan main musik, mulai dari ulang tahun teman, acara keluarga, perpisahan hingga malam pentas seni sekolah.

Populer walaupun masih dalam kalangan terbatas, membuat Gombloh semakin tergila-gila pada musik. Yang mengagumkan, itu semua justru tidak membuat nilai pelajarannya merosot. Otaknya memang encer. Tetapi sayang karena dia punya uang dari hasil undangan-undangan itu, dia jadi tergelincir. Dia mulai mengenal rokok, minuman dan kehidupan malam Surabaya. Inilah yang membuat fisik Gombloh lemah dan akhirnya diketahui ia mengidap penyakit paru-paru. Agak lepas kontrol, uang hasil ngamen itu ludes tak karuan. Semakin hari, dia semakin larut pada kehidupan malam. Suka begadang, nyangkruk di warung-warung kecil pinggir jalan untuk ngobrol dan minum, menghabiskan waktu untuk perempuan-perempuan malam.

Tahun 1968, setamat SMA dengan nilai lumayan, ia diterima di ITS (Institut Teknologi 10 November) dengan jurusan Arsitektur. Bukankah itu bukti dari keenceran otaknya? Tetapi sekali lagi sayang kecintaannya pada musik, dan kelarutannya pada kehidupan malam, membuatnya tak betah melanjutkan kuliah. Bahkan kemudian ia ikut-ikutan masuk gank. Di Surabaya, kala itu memang lagi musimnya gank gank-an. Dia menjadi anggota gank terkenal Surabaya kala itu yang bernama “Gegars Otack”. Tapi ada nilai positifnya, dia bergabung dengan gank ini, sebab gank ini memiliki radio amatir dan banyak anggotanya suka musik. Sehingga wawasan musiknya menjadi semakin berkembang.
Kehidupan Gombloh yang seperti burung terbang bebas itu, terus berlanjut. Dan selama itu pula, keluarganya tidak mengetahui apa saja yang dilakukan Gombloh di luar rumah. Kadang mereka mendengar Gombloh main musik di salah satu night club di Surabaya, kadang pula mereka mendengar tiba-tiba Gombloh sudah main musik di Jakarta atau Bali. Dan sejauh itu, hanya ibunya saja yang selalu menyebar pesan kepada teman-teman Gombloh, untuk menyuruh dia pulang.

Sekitar tahun 1975, Bengkel Muda Surabaya (BMS) berdiri. Para pemuda pecinta seni, mulai dari seni musik, seni rupa dan drama, banyak yang masuk dalam organisasi ini, termasuk Gombloh. Di sini Gombloh pun berkenalan dengan Leo Kristi, Naniel Khusnul Yakin, Mung, dan masih banyak lagi. Tetapi ketiga nama itu ternyata sungguh menginspirasi Gombloh untuk menjajal dunia rekaman, karena mereka sudah lebih dulu masuk. Bahkan, Franky Sahilatua, salah seorang yang banyak belajar bermusik darinya, juga berhasil masuk rekaman mendahului dirinya dan albumnya sukses besar. Menghibur diri, Gombloh selalu bilang, “Tenang, belum saatnya Gombloh muncul ke permukaan”. Tetapi diam-diam rupanya musisi yang mengaku berangkat dari corak musik blues ini, merasa kreativitasnya terpancing.
Tahun 1978, dia berhasil meluncurkan album perdananya, “Nadia dan Atmosfer”. Ketika itu grup Gombloh adalah Totok Tewel, Tuche, Renny, Lorenz dan Ais. Tetapi sebelum itu, Gombloh sudah bergabung dengan grup “Lemon Trees” bersama Leo Kristi, Ita dan Naniel. Album perdananya ini tidak terlalu meledak di pasaran, masih kalah dengan Leo Kristi, “Nyanyian Fajar” ataupun milik Franky yang berduet dengan Jane, adiknya. Tetapi salah satu lagunya yang berlirik nakal, “tai kucing rasa coklat” sontak populer di masyarakat.

Uang yang diperolehnya dari album itu, lantas dibagi-bagikan kepada semua teman-temannya. Begitu royal, sehingga cepat habis. Selain rekaman, Gombloh masih sering ‘ngamen’ di Shinta dan Blue Sixteen. Sehabis ‘ngamen’, pulang ke BMS, tempat dia mangkal sehari-hari. BMS memang sudah jadi ‘rumah’ bagi Gombloh dan teman-teman seniman yang lainnya.

Tahun-tahun itu, bintang Gombloh memang belum saatnya bersinar terang. Lantas tiba-tiba Gombloh punya ide membuat opera musik “Damarwulan”, yang melibatkan sekitar 80 orang. Giat berlatih selama tiga bulan, tetapi ketika ditawarkan, tidak ada satu pihak pun yang berniat mempargelarkannya. Kembali dia limbung, dan semakin sarat ke kehidupan malam.

Sebenarnya, tidak selalu Gombloh berkelakuan sebagaimana layaknya ‘pembeli’ dan ‘penjual’ apabila bergaul dengan perempuan-perempuan malam itu. Seringkali Gombloh memperlakukan perempuan-perempuan itu hanya sebagai teman ngobrol, teman bercerita, berbagi uneg-uneg bahkan sumber inspirasi karya-karyanya. Dari rasa pergaulannya yang merakyat ini, baik kepada perempuan malam atau teman-temannya sesama seniman, unsur jiwa sosialnya tampak lebih berperan. Dia dikenal sebagai sosok yang dermawan. Kalau punya uang, dia langsung mentraktir ataupun membantu teman-temannya hingga uang itu habis. Dia tak pernah berpikir, besok akan bagaimana.

Para WTS yang sering dikunjunginya, lebih terlihat sebagai sahabat. Mereka tak jarang terbuka kepada Gombloh. Mereka pun bercerita pada Gombloh apabila ada kesulitan yang dialami, mulai dari kesulitan keuangan ataupun kesulitan-kesulitan yang lain. Serta merta, Gombloh pun membantunya ataupun mencarikan jalan keluar atas masalah-masalah itu. Bahkan Djoko Suud Sukahar, salah seorang teman Gombloh bercerita bahwa suatu ketika Gombloh menemui seorang WTS di daerah Jarak yang sedang mengalami penyakit yang parah. Dengan sikapnya yang manusiawi, Gombloh pun menanyakan keluhan yang dialami perempuan itu, sebagaimana layaknya seorang dokter. Setelah mengakui penyakitnya, Gombloh pun lantas menyuruhnya untuk segera berobat ke dokter dan semua biaya perawatannya ditanggung sepenuhnya oleh Gombloh. Gombloh memang seorang berjiwa sosial tinggi.
Sys NS, salah satu kawan Gombloh di radio Prambors, malah punya kenangan tersendiri terhadap jiwa sosial seorang Gombloh. Dia mengatakan, “Saya pernah melihat mas Gombloh itu dengan becak membagi-bagikan BH kepada beberapa WTS. Dia memang profil orang yang aneh, tapi sangat manusiawi”.

Ketika semakin populer, sayangnya dia belum berubah dari gaya hidupnya yang nyentrik itu. Tubuhnya tidak pernah diurus. Tetap suka begadang dan mengunjungi daerah-daerah lampu merah. Merokoknya juga semakin kuat, sehingga makin menggerogoti fisiknya. Tubuhnya semakin kurus, keropos dan ceking. Kulitnya semakin keriput, rambut, jenggot dan jambang dibiarkan tumbuh begitu saja, sehingga penampilannya terlihat lebih tua dari usia sebenarnya. Tetapi itulah Sudjarwoto Sumarsono, yang nggomblohi namun luar biasa dalam berkarya.

*) Disadur dari buku “Blues untuk Kim“, yang sebelumnya dimuat di Surabaya Post, 12 Januari 1988 dan foto diolah dari berbagai sumber.

*tulisan ini juga bisa diakses di blog milik kawan kami Dhahana Adi: http://ceritasurabaya.blogspot.com